Sabtu, 10 November 2012

Tak Biasa.

Minggu pagi ini, saya meradang. disela sakit perut yang terus melilit tubuh saya, menjangkar waktu saya untuk terus-terusan bergulat diatas tempat tidur, menggeliat kesana-sini hanya demi menghilangkan sakitnya meskipun selalu gagal - dan yang akhirnya justru makin menekan perut saya untuk siaga melawan sakit yang melilit- saya juga menahan suatu perasaan gundah. Perasaan dimana hari-hari saya di kristalkan seperti garam. Asin dan keras.

Sudah lebih dari dua minggu ini saya kesulitan mengatur ritme hidup. Jujur saja, saya ini seperti orang gagap yang mendadak bisa bicara lancar. Semakin lancar saya bicara, semakin bingung saya menghentikannya. Sementara saya terbiasa gagap dengan bicara terputus-putus. Analogi itu yang kemudian membawa kesadaran baru, bahwa manusia memang tercipta untuk senantiasa tidak bersyukur. Dan saya malu mengakui bahwa saya termasuk salah satunya.

Ada hal yang menekan hati saya. Demikian dalam tekanan itu sampai saya lupa memaknainya sebagai proses yang mestinya saya protes. Saya justru merasakan tekanan yang dalam itu sebagai konsistensi kepedihan yang terakumulasi dalam hidup saya bertahun-tahun belakangan ini. Mendadak saya merasa harus menebus dosa besar, dosa menjadi penipu. Dosa yang tak akan pernah saya maafkan seumur hidup saya. Bahwa selama ini saya menipu, menipu diri sendiri. Berpura-pura biasa padahal sungguh dalam hati saya perasaan sakit menekan terus. Bertahun saya hidup dalam keterasingan, namun mencoba menjadi yang paling biasa. Akhirnya, pagi ini, semua perasaan itu terakumulasi. Tergenapkan.

Disela sakit yang membelit perut saya, saya paksakan mandi pagi. Saya harus kena air. Untuk alasan apapun, air adalah peredam segala api yang ada. Api di dalam maupun diluar. Saya meredamnya dengan mandi. Matikah api itu? tidak semua, tapi minimal usaha itu membuahkan hasil. Saya tak lagi gelagapan karna tak mampu bernafas, asma akibat banyaknya tekanan di hati.

Biasanya, saya akan langsung pesan tiket pesawat ke lampung dan menyelam di kiluan. Biasanya, saya akan langsung berjalan mengitari pasar tradisional dan bertengger terhenti di tengahnya. Hanya air dan keramahan pasar tradisional yang mampu meluputkan segala tekanan itu, membuatnya terangkat dan terlupakan sekali lagi memberi saya nafas untuk kembali melalui hari-hari saya, dengan menipu kembali.

Kali ini tak biasa. Saya tak lagi berani menghubungi awak Kiluan. Ada tangan besar yang menggenggam saya di Jakarta. Yang menjangkarkan hatinya dan mempercayakan hidupnya pada saya. Saya sudah berjanji, untuk menjaganya sampai saya sendiri tak mampu berdiri. Dan saya belum melihat kemungkinan akan keingkaran janji itu. saya diam bergeming didepan laptop, dengan layar yang menyala pada web pemesanan tour ke kiluan. dengan tangkas saya mengklik tombol exit. saya batal pesan.

Masih saja tak biasa. Saya tak menuju pasar tradisional. Kali ini bukan tangan besar yang membuat saya tak melakukannya.Tapi sebuah kehidupan lain yang hidup dalam diri saya. yang harus saya jaga dan rawat entah sampai kapan. yang eksistensinya membuat saya kehilangan alasan untuk egois. yang akan membuat saya menjadi manusia utuh dan penuh kembali. Saya hidup dan dihidupi olehnya. maka tak mungkin saya melalaikannya.

Kiluan memang berkilauan. Lumba-lumba dan banyaknya terumbu karang yang siap dimangsa oleh kelaparan mata saya jelas santapan lezat yang akan melenakan saya sepanjang waktu. Pasar tradisional juga membuat lupa. suara-suara magis dari para penjual itu senantiasa membuat saya merasa berarti. Merasakan ujung sol sepatu saya yang basah oleh kubangan air di tengah pasar itu membuat hati saya tergetar. mencicipi keramahan udara dan bau amis ikan membuat saya terangsang untuk bangkit dan berdiri, berlari kesana. tapi kali ini saya hanya diam. saya gagu.

Ternyata, tak selama nya saya bisa membahagiakan semua orang. Saya sepagian ini menangisi diri sendiri. menangisi kebodohan saya, menangisi kealpaan saya. inilah hidup yang tak lagi hidup. saya anomali didalamnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar