Jumat, 31 Agustus 2012

Buku Putih I: Ideograf ( By : Ade Riyan Purnama )


“Ketika kau berhenti mencari dalam pencarian-pencarian yang kau cari, kau akan dapati yang kau cari”.

Hidup adalah pengembaraan. Pengembaraan menuju pertarungan dengan detik waktu dan detak denyut nadi yang kapan saja bisa berhenti. Dalam perjalannya kita akan bertemu pertigaan, perempatan atau bahkan simpang lima tanpa rambu berpetunjuk.

Mungkin pintu gerbang kedewasaan telah terbuka ketika kita mulai memikirkan arah hidup. Karena hidup adalah jejak langkah diatas pasir yang terbawa ombak dan ketika hamparan pasir itu tak berjejak, pasir itu akan ditapaki jejak-jejak langkah manusia berikutnya.

Pencarian adalah penantian malam sempurna. Seperti raja anjing yang mengaung di atas bukit tertinggi ketika bulan menjadi besar dan berubah menjadi warna merah. Dalam pencariannya manusia bisa berubah menjadi serigala buas di malam purnama dan dengan seketika anjing-anjing gunung yang berwarna putih berbaris dideretan lembah menyaksikan kesempurnaan manusia binatang yang menjadi liar. Dan setelah itu terjadi, matahari di pagi hari tidak tinggal diam, ia selalu menyerang dari ufuk timur dengan segenap cahayanya untuk memotong kuku-kuku serigala dan merontokkan taringnya karena di malam purnama manusia adalah pemangsa paling buas dari para pemangsa.

Alarm disampingku, mulai mengeluarkan bunyi. Itu bertanda hari sudah menjelang pagi pukul 05.30. Kemudian ibuku memberikan selimut dan mengusap sebagian rambutku mengisyaratkan aku harus segera tidur. Karena sudah menjadi kebiasaan setiap hari kelahiranku, ibu selalu mendongeng pukul 00.00 tepat pada malam bulan purnama.

Ibuku selalu bercerita tentang serigala dimalam hari ulang tahunku, tentang manusia yang menjelma menjadi binatang. Namun, aku selalu heran kepada ibuku. Kenapa ia tak pernah bercerita tentang proses sebelum manusia menjadi serigala. Padahal ketika aku membaca buku tentang malam purnama, serigala itu adalah pangeran yang sangat bijaksana kemudian diasingkan ditengah hutan karena dikhianati oleh penasehat  kerajaan yang mengirimkan perempuan cantik untuk menggodanya. Dan ketika pangeran jatuh cinta, perempuan cantik itu selalu mendongengkan malam-malam pangeran sebelum ia tertidur.

Dan tepat pada malam bulan purnama, perempuan cantik itu melepas pakaiannya setelah ia melihat sang pangeran tertidur. Ia mulai memeluk pangeran, memasuki semua tubuhnya kedalam selimut pangeran kemudian mengaitkan kakinya ke dalam kaki pangeran hingga yang terlihat hanya wajah dan bibir yang terus bercerita.

Kemudian tentara-tentara kerajaan masuk menyeret pangeran dari tidurnya dan perempuan cantik itu dengan khusuk berpura-pura tidak tau apa-apa dan perempuan cantik itu berjalan kecil memeluk pangeran seolah-olah semalam terjadi percumbuan yang menghasilkan kenikmatan madu.

Pangeran diarak mengelilingi kampung oleh tentara-tentara kerajaan. Seluruh rakyatnya mencaci, menghina bahkan meludah dan melempari batu ke arah wajah sang pangeran sebelum ia diasingkan. Ternyata dibalik semua itu adalah skenario sang penasehat kerajaan setelah sekian lama ia menginginkan tahta sang pangeran.

Dalam keterasingannya, sang pangeran marah atas pengkhianatan dari cinta yang tulus dan amanah kerajaan yang selama ini dijaganya. Ia temukan luka dalam kedalaman naluri karena  hati sudah tidak menjadi cerminan malam-malam pencarian. Mungkin hidup ini adalah teka-teki piramid yang dibuat fir’aun, ketika kekuatan menjadi trisula untuk menahlukkan rakyatnya dan meniduri setiap perempuan yang ingin ditidurinya.

Dalam keterasingannya pangeran hanya bercermin melihat wajahnya di danau di sebelah timur hutan. Setiap pagi ia menadah tetesan embun yang jatuh dari daun dengan kedua telapak tangannya dan meminumnya. Karena dari tetesan itu, ia merasakan dingin sebelum matahari melenyapkan tetesan-tetesan itu dan kembali mengering.

Ada ketulusan dari setiap persetubuhan dinginnya malam, seperti  tetesan embun yang dilahirkan pagi hari. Aku kemudian berlari memasuki hutan-hutan yang semakin rimba. Aku marah atas perlakuan perempuan yang aku cintai dan mengkhianatiku. Aku robek-robek bisa ular cobra, aku rontokkan taring buaya dan aku patahkan kaki harimau dan singa. Aku terus berlari menuju puncak gunung tertinggi menjelang malam. Karena malam adalah cahaya bagi para sufi dan mataku semakin liar menerjang apa yang ada dihadapanku. Dan ketika aku berada dipuncak dan bulan menyempurnakan malam purnama, aku menjelma menjadi serigala. Raja hutan diatas segala raja-raja hutan lainnya. Kemarahanku memuncak atas sebuah pengkhianatan dan hatiku terbakar oleh luka.

Aku terus berteriak hingga harimau dan singapun mengurungkan niatnya untuk melihatku. Aku terus berlari menyusuri lembah dan hutan untuk mencari petarung yang lebih tangguh untuk mengobati pesakitanku yang tak dapat terbalut. Aku mematahkan pohon-pohon besar hingga tumbang, aku menghancurkan batu yang menghalangiku dan teriakanku semakin hebat. Burung-burung pun terbangun dari lelapnya, mengepakkan sayapnya kearah yang lebih tinggi menunggu matahari menyadarkan aku dengan sinarnya.

Aku bagaikan api neraka yang berkobar, yang panasnya siap melahap siapa saja bagi yang ingkar. Aku haus akan kesejukan yang menghantarkan aku pada tidur-tidur yang lelap. Kemudian aku menceburkan diri kedalam danau yang dingin, aku cabik-cabik ikan yang ada didalamnya hingga danau itu menjadi merah.

Setelah danau menjadi merah, aku kembali kedaratan mendekati dahan-dahan pohon dan menunggu embun-embun pagi itu menetes sebelum kebuasanku berakhir. Aku memapah kedua telapak tanganku dari daun sampai  kedaun berikutnya dan meminum tetesan embun itu.

Tiba-tiba aku terbangun dengan berlalunya bulan purnama yang menjadikan aku serigala. Pengkhianatan adalah doa tumpukan jerami. Tidak ada pengkhianatan yang tidak disusun sebelumnya. Entah yang berkhianat atau dikhianati, ada kisah perjalanan jejak diatas pasir yang terbawa ombak.

Ada luka diantara janji, ada air mata diantara tanah basah. Ia berjalan menyusuri hutan dengan tergopoh dan masuk kedalam lumpur yang dalam hingga ia tak sanggung keluar. Ditengah ketidak berdayaannya, buaya yang lapar mencabik-cabik tubuhnya. Pangeran itu mati dalam ketidakberdayaan setelah pencarian buasnya berbalut dengan keikhlasan. Ia kembali dalam ketiadaan, menjadi ada. Karena keadaan adanya ada akan kembali ke tiada.

Ia hanya teringat dongeng perempuan yang menghantarkannya sebelum tidur. Dongeng itu menghantarkan aku menjadi serigala buas dengan marahnya dan cabikkan buaya inilah yang mengingatkan aku bahwa aku adalah tetap manusia yang bisa merasakan sakitnya dikhianati, dicintai atau bahkan didustai.  
Purnama..purnama...!

Aku terbangun mendegar panggilan ibuku yang memberi tanda bahwa hari sudah mulai siang. Dengan mengangkat buku malam purnama yang menutupi wajahku, aku mulai bangun dan menaruh buku itu di rak bukuku.

Ibuku memberi namaku Purnama. Entah apa yang terbesit dalam benaknya ketika memberi nama itu. Yang aku tau ibuku adalah salah satu penulis sastra. Penulis sastra yang sama sekali tidak terkenal. Penulis sastra yang harus bekerja kers terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang dan  membayar percetakan untuk menerbitkan bukunya. Karena karya sastra ibuku tidak diterima dipenerbit manapun, makanya ia selalu menerbitkan secara indie. Terkadang ibuku pun sering menjual buku-buku karangan almarhum ayahku yang menjadi kado ulang tahunnya.

Terbitan buku pertama ibuku berjudul Purnama. Ia selalu mengatakan kepadaku, kau adalah buku. Buku yang menjadikan aku perempuan seutuhnya, buku yang selalu aku baca. Buku yang mengajarkan ibu arti biadab dan beradab. Kau adalah buku putih diantara coretan perjalan hidup dan kau menjadi sampul putih diantara gelapnya malam ketika bintang berada dalam kekosongan dan tak mengeluarkan kerlip.

Buku ibu terlahir karena buah pemikiran, perjalanan dan kegelisahan sedangkan kau anakku terlahir karena buah ketulusan.

Ibuku selalu bertanya, apakah kau sudah menuliskan kata demi kata disetiap kau ulang tahun. Karena kata ibuku, sebelum ayahku meninggal ia memberikan buku putih kepadaku. Entah apa yang diinginkan ayahku, waktu itu.

Akupun belum pernah bertemu dengan ayahku. Kata ibuku, ayahku meninggal ketika aku dalam kandungan delapan bulan.Menurut cerita ibuku,  ayahku  adalah sastrawan besar yang berhenti menulis setelah mendapat nobel sastra se Asia Tenggara dan bertemu dengan ibuku. Karena menurut ayahku, ibuku adalah puisi paling murni. Ia menemukan guratan keindahan setelah mengenal ibuku diatas kata-kata yang tak terbatas.

Tapi aku masih bingung, kenapa ayaku hanya meninggalkan buku putih saja kepadaku. Tanpa ada garis-garis untuk menulis seperti pada buku umumnya dan  buku putih tersebut didalamnya tak terdapat garis tepi. Hanya buku puith dan benar-benar putih.
Ibuku memintaku untuk menuliskan kisah hidup setiap ulang tahunku. Umurku kini 25 tahun, tetapi belum ada satu katapun yang aku tulis. Rasanya aku memang tidak berbakat untuk menjadi penulis walaupun kedua orangtuaku adalah penulis.

Aku bingung mau memulai dari mana tulisanku. Sebab menulis menurutku, bukan hanya ungkapan rasa. Ada jarak diantara pena dan buku putih yang kupunya. Menulis menurutku seperti memotong bawang merah yang diiris-iris menjadi bagian-bagian. Yang udaranya  bisa mengeluarkan air mata walaupun pisaunya tidak mengenai unjung telunjukku.

Coba kita bayangkan, ketika ada penulis menuliskan biography tentang kepedihan dalam perjalannya. Dan kemudian ia menuangkan dalam tulisannya. Ia harus mengulang rekaman jejak saat ia jatuh dalam luka, atau ketika ia putus asa dan hampir bunuh diri. Bagaimana kita mengingat-ingat kembali kesulitan dalam hidup, berharap bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari apa yang dituliskannya. Itu pekerjaan yang menyakitkan.

Itu hal yang menyebalkan bagiku ketika aku harus mengingat-ingat hal yang tak kusukai. Aku baru ingat, ketika aku berumur tujuh tahun dan mulai masuk Sekolah kelas satu SD. Aku pernah menaruh permen karet dibangku ibu guruku. Kemudian setelah ibu guruku tau aku yang menaruh permen karet diatas bangkunya. Ia menggeledah tasku, mencari permen-permen karet yang belum aku kunyah sebelum aku menaruhnya di bangku-bangku yang lain.

 Ibu guruku tidak menemukan permen karet didalam tasku, ia hanya menemukan buku putih. Kemudian aku dikenakan sanksi untuk menuliskan, “AKU TIDAK AKAN MENARUH PERMEN KARET DI BANGKU SEKOLAH”. Aku membantah ibu guruku, aku lebih memilih bernyanyi balonku ada lima. Walaupun sebenarnya aku tidak punya balon satupun. Karena balon yang kubeli selalu aku tusukkan jarum untuk mengagetkan orang-orang disekelilingku.

Bayangkan ketika kita melakukan kesalahan kita akan dihukum untuk menulis kesalahan-kesalah kita dan berulang-ulang. Bukankah itu akan menimbulkan kita akan melakukan hal sama. Karena tulisan-tulisan tersebut akan tersimpan dan menjadi permanen dalam memori kita. Mungkin kalau aku tidak mengajukan hukuman menyanyi, sampai sekarang aku akan terus menerus menaruh permen karet di bangku sekolah. Karena menulis kesalahan dalam satu buku akan menimbulkan kita mengulanginya.

Kata ibu guruku, aku anak yang nakal. Namun, ibuku selalu membela. Bukankah anak kecil yang nakal adalah anak yang pintar. Anak kecil yang nakal adalah anak yang kreatif, mungkin hanya perlu bimbingan saja. Ia menaruh permen karet diatas bangku ibu guru karena mungkin ia tidak tahu dimana tempat sampah. Setelah ibu menunjukkan dimana cara membuang permen karet saya rasa ia akan lebih disiplin dari anak-anak yang lain.
Aku selalu senyum-senyum sendiri ketika ingat hal itu. Ibuku memang pintar berdalih. Ia dulu bintang teater pada jamannya. Jadi wajar ketika pola pikirnya agak terbalik dari perempuan-perempuan yang menempuh ilmu akademisnya yang hanya duduk dibangku kuliah saja.

Aku kemudian masuk ke dalam kamarku merogoh buku putih yang ada dalam tasku dan pulpen setelah selesai cuci muka ala koboi dikamar mandi. Aku menghampiri ibuku yang sedang melamun melihat sketsa lukisannya yang dibuat ayahku sambil memainkan biola putih kado yang diberikan ayahku sewaktu ibuku ulang tahun yang ke 23.

Aku duduk disebelahnya, meminta ibu untuk menceritakan kisah-kisah ayahku. Walaupun aku tau, disetiap pegulangan masa lalu ada luka yang akan terbuka. Namun aku siap, menuliskan semuanya. Karena “jejak langkah diatas pasir akan terbawa ombak dan ketika hamparan pasir itu tak berjejak, pasir itu akan ditapaki jejak-jejak langkah manusia berikutnya”.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar