“Ketika
kau berhenti mencari dalam pencarian-pencarian yang kau cari, kau akan dapati
yang kau cari”.
Hidup
adalah pengembaraan. Pengembaraan menuju pertarungan dengan detik waktu dan detak
denyut nadi yang kapan saja bisa berhenti. Dalam perjalannya kita akan bertemu
pertigaan, perempatan atau bahkan simpang lima tanpa rambu berpetunjuk.
Mungkin
pintu gerbang kedewasaan telah terbuka ketika kita mulai memikirkan arah hidup.
Karena hidup adalah jejak langkah diatas pasir yang terbawa ombak dan ketika
hamparan pasir itu tak berjejak, pasir itu akan ditapaki jejak-jejak langkah
manusia berikutnya.
Pencarian
adalah penantian malam sempurna. Seperti raja anjing yang mengaung di atas
bukit tertinggi ketika bulan menjadi besar dan berubah menjadi warna merah.
Dalam pencariannya manusia bisa berubah menjadi serigala buas di malam purnama
dan dengan seketika anjing-anjing gunung yang berwarna putih berbaris dideretan
lembah menyaksikan kesempurnaan manusia binatang yang menjadi liar. Dan
setelah itu terjadi, matahari di pagi hari tidak tinggal diam, ia selalu
menyerang dari ufuk timur dengan segenap cahayanya untuk memotong kuku-kuku
serigala dan merontokkan taringnya karena di malam purnama manusia adalah
pemangsa paling buas dari para pemangsa.
Alarm
disampingku, mulai mengeluarkan bunyi. Itu bertanda hari sudah menjelang pagi
pukul 05.30. Kemudian ibuku memberikan selimut dan mengusap sebagian rambutku
mengisyaratkan aku harus segera tidur. Karena sudah menjadi kebiasaan setiap
hari kelahiranku, ibu selalu mendongeng pukul 00.00 tepat pada malam bulan
purnama.
Ibuku
selalu bercerita tentang serigala dimalam hari ulang tahunku, tentang manusia
yang menjelma menjadi binatang. Namun, aku selalu heran kepada ibuku. Kenapa ia
tak pernah bercerita tentang proses sebelum manusia menjadi serigala. Padahal
ketika aku membaca buku tentang malam purnama, serigala itu adalah pangeran
yang sangat bijaksana kemudian diasingkan ditengah hutan karena dikhianati oleh
penasehat kerajaan yang mengirimkan
perempuan cantik untuk menggodanya. Dan ketika pangeran jatuh cinta, perempuan
cantik itu selalu mendongengkan malam-malam pangeran sebelum ia tertidur.
Dan
tepat pada malam bulan purnama, perempuan cantik itu melepas pakaiannya setelah
ia melihat sang pangeran tertidur. Ia mulai memeluk pangeran, memasuki semua tubuhnya
kedalam selimut pangeran kemudian mengaitkan kakinya ke dalam kaki pangeran
hingga yang terlihat hanya wajah dan bibir yang terus bercerita.
Kemudian
tentara-tentara kerajaan masuk menyeret pangeran dari tidurnya dan perempuan
cantik itu dengan khusuk berpura-pura tidak tau apa-apa dan perempuan cantik
itu berjalan kecil memeluk pangeran seolah-olah semalam terjadi percumbuan yang
menghasilkan kenikmatan madu.
Pangeran
diarak mengelilingi kampung oleh tentara-tentara kerajaan. Seluruh rakyatnya
mencaci, menghina bahkan meludah dan melempari batu ke arah wajah sang pangeran
sebelum ia diasingkan. Ternyata dibalik semua itu adalah skenario sang
penasehat kerajaan setelah sekian lama ia menginginkan tahta sang pangeran.
Dalam
keterasingannya, sang pangeran marah atas pengkhianatan dari cinta yang tulus
dan amanah kerajaan yang selama ini dijaganya. Ia temukan luka dalam kedalaman
naluri karena hati sudah tidak menjadi
cerminan malam-malam pencarian. Mungkin hidup ini adalah teka-teki piramid yang
dibuat fir’aun, ketika kekuatan menjadi trisula untuk menahlukkan rakyatnya dan
meniduri setiap perempuan yang ingin ditidurinya.
Dalam
keterasingannya pangeran hanya bercermin melihat wajahnya di danau di sebelah
timur hutan. Setiap pagi ia menadah tetesan embun yang jatuh dari daun dengan
kedua telapak tangannya dan meminumnya. Karena dari tetesan itu, ia merasakan
dingin sebelum matahari melenyapkan tetesan-tetesan itu dan kembali mengering.
Ada
ketulusan dari setiap persetubuhan dinginnya malam, seperti tetesan embun yang dilahirkan pagi hari. Aku
kemudian berlari memasuki hutan-hutan yang semakin rimba. Aku marah atas
perlakuan perempuan yang aku cintai dan mengkhianatiku. Aku robek-robek bisa
ular cobra, aku rontokkan taring buaya dan aku patahkan kaki harimau dan singa.
Aku terus berlari menuju puncak gunung tertinggi menjelang malam. Karena malam
adalah cahaya bagi para sufi dan mataku semakin liar menerjang apa yang ada
dihadapanku. Dan ketika aku berada dipuncak dan bulan menyempurnakan malam
purnama, aku menjelma menjadi serigala. Raja hutan diatas segala raja-raja
hutan lainnya. Kemarahanku memuncak atas sebuah pengkhianatan dan hatiku
terbakar oleh luka.
Aku
terus berteriak hingga harimau dan singapun mengurungkan niatnya untuk
melihatku. Aku terus berlari menyusuri lembah dan hutan untuk mencari petarung
yang lebih tangguh untuk mengobati pesakitanku yang tak dapat terbalut. Aku
mematahkan pohon-pohon besar hingga tumbang, aku menghancurkan batu yang
menghalangiku dan teriakanku semakin hebat. Burung-burung pun terbangun dari
lelapnya, mengepakkan sayapnya kearah yang lebih tinggi menunggu matahari
menyadarkan aku dengan sinarnya.
Aku
bagaikan api neraka yang berkobar, yang panasnya siap melahap siapa saja bagi
yang ingkar. Aku haus akan kesejukan yang menghantarkan aku pada tidur-tidur
yang lelap. Kemudian aku menceburkan diri kedalam danau yang dingin, aku cabik-cabik
ikan yang ada didalamnya hingga danau itu menjadi merah.
Setelah
danau menjadi merah, aku kembali kedaratan mendekati dahan-dahan pohon dan
menunggu embun-embun pagi itu menetes sebelum kebuasanku berakhir. Aku memapah
kedua telapak tanganku dari daun sampai kedaun berikutnya dan meminum tetesan embun
itu.
Tiba-tiba
aku terbangun dengan berlalunya bulan purnama yang menjadikan aku serigala.
Pengkhianatan adalah doa tumpukan jerami. Tidak ada pengkhianatan yang tidak
disusun sebelumnya. Entah yang berkhianat atau dikhianati, ada kisah perjalanan
jejak diatas pasir yang terbawa ombak.
Ada
luka diantara janji, ada air mata diantara tanah basah. Ia berjalan menyusuri
hutan dengan tergopoh dan masuk kedalam lumpur yang dalam hingga ia tak
sanggung keluar. Ditengah ketidak berdayaannya, buaya yang lapar mencabik-cabik
tubuhnya. Pangeran itu mati dalam ketidakberdayaan setelah pencarian buasnya
berbalut dengan keikhlasan. Ia kembali dalam ketiadaan, menjadi ada. Karena
keadaan adanya ada akan kembali ke tiada.
Ia
hanya teringat dongeng perempuan yang menghantarkannya sebelum tidur. Dongeng
itu menghantarkan aku menjadi serigala buas dengan marahnya dan cabikkan buaya
inilah yang mengingatkan aku bahwa aku adalah tetap manusia yang bisa merasakan
sakitnya dikhianati, dicintai atau bahkan didustai.
Purnama..purnama...!
Aku
terbangun mendegar panggilan ibuku yang memberi tanda bahwa hari sudah mulai
siang. Dengan mengangkat buku malam purnama yang menutupi wajahku, aku mulai
bangun dan menaruh buku itu di rak bukuku.
Ibuku
memberi namaku Purnama. Entah apa yang terbesit dalam benaknya ketika memberi
nama itu. Yang aku tau ibuku adalah salah satu penulis sastra. Penulis sastra yang
sama sekali tidak terkenal. Penulis sastra yang harus bekerja kers terlebih
dahulu untuk mengumpulkan uang dan
membayar percetakan untuk menerbitkan bukunya. Karena karya sastra ibuku
tidak diterima dipenerbit manapun, makanya ia selalu menerbitkan secara indie.
Terkadang ibuku pun sering menjual buku-buku karangan almarhum ayahku yang
menjadi kado ulang tahunnya.
Terbitan
buku pertama ibuku berjudul Purnama. Ia selalu mengatakan kepadaku, kau adalah
buku. Buku yang menjadikan aku perempuan seutuhnya, buku yang selalu aku baca.
Buku yang mengajarkan ibu arti biadab dan beradab. Kau adalah buku putih diantara
coretan perjalan hidup dan kau menjadi sampul putih diantara gelapnya malam ketika
bintang berada dalam kekosongan dan tak mengeluarkan kerlip.
Buku
ibu terlahir karena buah pemikiran, perjalanan dan kegelisahan sedangkan kau
anakku terlahir karena buah ketulusan.
Ibuku
selalu bertanya, apakah kau sudah menuliskan kata demi kata disetiap kau ulang
tahun. Karena kata ibuku, sebelum ayahku meninggal ia memberikan buku putih
kepadaku. Entah apa yang diinginkan ayahku, waktu itu.
Akupun
belum pernah bertemu dengan ayahku. Kata ibuku, ayahku meninggal ketika aku
dalam kandungan delapan bulan.Menurut cerita ibuku, ayahku adalah sastrawan besar yang berhenti menulis
setelah mendapat nobel sastra se Asia Tenggara dan bertemu dengan ibuku. Karena
menurut ayahku, ibuku adalah puisi paling murni. Ia menemukan guratan keindahan
setelah mengenal ibuku diatas kata-kata yang tak terbatas.
Tapi
aku masih bingung, kenapa ayaku hanya meninggalkan buku putih saja kepadaku.
Tanpa ada garis-garis untuk menulis seperti pada buku umumnya dan buku putih tersebut didalamnya tak terdapat
garis tepi. Hanya buku puith dan benar-benar putih.
Ibuku
memintaku untuk menuliskan kisah hidup setiap ulang tahunku. Umurku kini 25
tahun, tetapi belum ada satu katapun yang aku tulis. Rasanya aku memang tidak
berbakat untuk menjadi penulis walaupun kedua orangtuaku adalah penulis.
Aku
bingung mau memulai dari mana tulisanku. Sebab menulis menurutku, bukan hanya
ungkapan rasa. Ada jarak diantara pena dan buku putih yang kupunya. Menulis
menurutku seperti memotong bawang merah yang diiris-iris menjadi bagian-bagian.
Yang udaranya bisa mengeluarkan air mata
walaupun pisaunya tidak mengenai unjung telunjukku.
Coba
kita bayangkan, ketika ada penulis menuliskan biography tentang kepedihan dalam
perjalannya. Dan kemudian ia menuangkan dalam tulisannya. Ia harus mengulang
rekaman jejak saat ia jatuh dalam luka, atau ketika ia putus asa dan hampir
bunuh diri. Bagaimana kita mengingat-ingat kembali kesulitan dalam hidup,
berharap bagi pembaca dapat mengambil manfaat dari apa yang dituliskannya. Itu
pekerjaan yang menyakitkan.
Itu
hal yang menyebalkan bagiku ketika aku harus mengingat-ingat hal yang tak
kusukai. Aku baru ingat, ketika aku berumur tujuh tahun dan mulai masuk Sekolah
kelas satu SD. Aku pernah menaruh permen karet dibangku ibu guruku. Kemudian
setelah ibu guruku tau aku yang menaruh permen karet diatas bangkunya. Ia
menggeledah tasku, mencari permen-permen karet yang belum aku kunyah sebelum
aku menaruhnya di bangku-bangku yang lain.
Ibu guruku tidak menemukan permen karet
didalam tasku, ia hanya menemukan buku putih. Kemudian aku dikenakan sanksi
untuk menuliskan, “AKU TIDAK AKAN MENARUH PERMEN KARET DI BANGKU SEKOLAH”. Aku
membantah ibu guruku, aku lebih memilih bernyanyi balonku ada lima. Walaupun
sebenarnya aku tidak punya balon satupun. Karena balon yang kubeli selalu aku
tusukkan jarum untuk mengagetkan orang-orang disekelilingku.
Bayangkan
ketika kita melakukan kesalahan kita akan dihukum untuk menulis kesalahan-kesalah
kita dan berulang-ulang. Bukankah itu akan menimbulkan kita akan melakukan hal
sama. Karena tulisan-tulisan tersebut akan tersimpan dan menjadi permanen dalam
memori kita. Mungkin kalau aku tidak mengajukan hukuman menyanyi, sampai
sekarang aku akan terus menerus menaruh permen karet di bangku sekolah. Karena
menulis kesalahan dalam satu buku akan menimbulkan kita mengulanginya.
Kata
ibu guruku, aku anak yang nakal. Namun, ibuku selalu membela. Bukankah anak
kecil yang nakal adalah anak yang pintar. Anak kecil yang nakal adalah anak
yang kreatif, mungkin hanya perlu bimbingan saja. Ia menaruh permen karet
diatas bangku ibu guru karena mungkin ia tidak tahu dimana tempat sampah. Setelah
ibu menunjukkan dimana cara membuang permen karet saya rasa ia akan lebih
disiplin dari anak-anak yang lain.
Aku
selalu senyum-senyum sendiri ketika ingat hal itu. Ibuku memang pintar
berdalih. Ia dulu bintang teater pada jamannya. Jadi wajar ketika pola pikirnya
agak terbalik dari perempuan-perempuan yang menempuh ilmu akademisnya yang hanya
duduk dibangku kuliah saja.
Aku
kemudian masuk ke dalam kamarku merogoh buku putih yang ada dalam tasku dan
pulpen setelah selesai cuci muka ala koboi dikamar mandi. Aku menghampiri ibuku
yang sedang melamun melihat sketsa lukisannya yang dibuat ayahku sambil
memainkan biola putih kado yang diberikan ayahku sewaktu ibuku ulang tahun yang
ke 23.
Aku
duduk disebelahnya, meminta ibu untuk menceritakan kisah-kisah ayahku. Walaupun
aku tau, disetiap pegulangan masa lalu ada luka yang akan terbuka. Namun aku
siap, menuliskan semuanya. Karena “jejak langkah diatas pasir akan terbawa
ombak dan ketika hamparan pasir itu tak berjejak, pasir itu akan ditapaki
jejak-jejak langkah manusia berikutnya”.