Saya orang yang paling malas
berkonfrontasi jika itu bukan dengan orang yang menurut saya mampu menerima
pemikiran saya. Inay, sahabat terbaik saya adalah salah satu orang yang sangat
bisa memahami cara pikir saya. Pun sesekali kami masih sering berbeda pendapat
dan bersitegang karenanya. Tapi dengan senang hati, saat perbedaan itu muncul
saya akan mulai mengajaknya bertukar pikiran, berdebat hingga bertengkar hebat.
Saya akan meladeninya sampai kami akhirnya menemukan titik tengah dan mengakui
kebenaran suatu hal itu. Saya bahkan bisa sampai berminggu-minggu bertengkar
dengannnya sebab saya akan terus mempertahankan apa yang menurut saya benar.
Saya orang yang sangat percaya diri. Saya tak terbantahkan jika menyangkut
sesuatu yang menurut saya prinsip. Tapi saya fair, saya akan mengakui jika itu
salah dan meminta maaf asalkan ada bukti otentik yang melemahkan pendapat saya.
Saya terima dengan tangan terbuka.
Tapi lain hal
jika saya berbeda pendapat dengan orang yang bahkan jalan pikirannya pun sudah
berbeda dengan saya. Saya akan diam seribu bahasa dan memilih mundur dari
lingkaran. Percuma. Karna rel kami berbeda. Untuk apa meributkan sesuatu yang
bahkan persepsi saja kami tak sama. Saya menyakini sesuatu itu berwarna merah,
sedangkan seseorang bersikukuh mengatakan itu hijau. Dalam bentuk apapun kami
tidak akan pernah sepakat. Bagaimanapun kami menyatukan pendapat, sekuat apapun
kami mencoba saling mengerti, selama apapun usaha yang kami lakukan untuk
memahami satu sama lain; Itu semua akan percuma, alias Zero, alias nihil. So,
silahkan mundur dari keributan.
Saya pernah
bekerja di lingkungan comfort zone. Dimana segalanya sama dan satu rel dengan
saya. Saya bebas mengekspresikan segalanya disana, saya bisa memapaparkan ide
hingga bagian atom terkecil, bahkan segala tentang material ide saya pun bisa
saya sampaikan dengan baik. Saya menemukan sekutu di Citra sinema. Dimana
segalanya memahami apa yang menjadi pikiran saya dan sebaliknya, saya sangat
mengerti apa yang mereka pikirkan. Saya bisa seharian berdebat tentang suatu
dialog kecil dalam scenario yang tengah kami buat. Kami mengupasnya hingga
huruf terkecil. Tak ada yang luput satupun dari kacamata kami. Betapa
konfrontasi itu begitu menegangkan, terkadang perdebatan itu berubah menjadi
pertengkaran dan saling bermusuhan. Adegan sindir menyindir terjadi. Tapi saya
menikmati itu, sebab semuanya terjadi karna kesamaan visi dan misi. Sebab kami
sepaham. Keributan itu bisa muncul sebab kami mengerti apa yang kami ributkan.
Dan rel kami begitu menyatu dalam irama yang baik.
Kini saya menemukan suatu wadah
baru. Saya menemukan rumah baru yang selama ini saya cari. Tempat dimana saya
ingin mengaplikasikan segala ilmu yang saya miliki. Ruang itu bernama Unique
Growing Mind. Sebuah pendidikan untuk anak usia dini yang sangat ingin saya
kembangkan. Begitu banyak ide bertebaran di otak saya, begitu banyak inspirasi
yang membanjir hingga luber dalam benak saya. Sebelum saya menemukannya, bahkan
saya sudah jatuh cinta dengannya. Saya ingin menjadi salah satu pondasi terkuat
didalamnya.
Namun saya harus
berhenti berkonfrontasi. Rel saya bercabang dan tak menemukan titik apapun
dengan teman yang lain. Tak ada persekutuan disini. Saya bagai alien yang
menggelepar dengan ide yang nyaris tak pernah terlaksana. Dan saya anomaly.
Kadang saya
berfikir, seharusnya saya bersabar dan mulai membiasakan diri jika saya
benar-benar mencintai Unique Growing Mind. Tapi saya tidak bisa membiarkan
kemubaziran ini terjadi. Seharusnya anak-anak bisa cepat berkembang dengan ide
yang sudah pernah saya terapkan di Taman Siswa. Seharusnya mereka tak perlu
menunggu saya dan teman lain sepakat dan baru memulai segala aktivitas
pembangunan itu. Anak-anak punya hak untuk mendapatkan perkembangan dengan
baik. Dan kami seharusnya tak bisa membiarkan keegoisan membuat mereka merugi.
Ini yang tidak bisa saya biarkan. Kini saya harus terus berusaha
mengaplikasikan segala ide dan teori yang saya miliki. Kini kecintaan saya
bukan sekedar pada UGM, tapi sudah meluas pada anak-anak. Saya bukan hanya
ingin mereka bisa tersenyum. Saya memikirkan mereka 20 tahun kedepan. Saya
menginginkan melihat mereka tersenyum 20 tahun kedepan. Saya harus mulai
menyatukan rel. Saya harus menarik mereka untuk lebih bergeser sedikit
mendekati rel saya, dan sebaliknya. Saya juga harus memaksakan diri mendekati
rel mereka. Saya berharap program penyatuan rel ini bisa berjalan dengan cepat
sehingga anak-anak tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk bisa mendapatkan
perkembangan yang optimal. Saya merasa bertanggung jawab atas masa depan
mereka. Sebab saya mencintai mereka.