Minggu, 30 November 2014

Harta Karun ODHA

1 Desember, awal bulan yang kelak akan jadi nostalgia di awal bulan berikutnya karena usungan tahun baru dengan terompet dan kemegahan pesta akhir tahun sudah tercium dari sekarang. Tapi hari ini, saya mendadak seperti sedang berjalan sendirian, melihat kanan kiri dan kesepian. 1 Desember, mengingatkan saya pada banyak sahabat saya di luar sana yang mulai jarang saya sapa, mulai jarang saya usap peluhnya. ODHA ( Orang Dengan HIV AIDS ) , apakabar kalian semua? Saya kangen kalian.

Saya bersyukur hingga detik ini saya masih diberi kesehatan luar biasa oleh Allah, saya masih bisa hidup dengan sangat berkualitas. Tapi saya lebih bersyukur lagi, hari ini saya mengingat sesuatu tentang ODHA. saya mengingatnya sejelas saya melihat sendok didepan mata saya.

Sejak tahun 2005, saya dan Almh sahabat baik saya Inay, menjadi Volunter untuk ODHA. kami ikut begitu banyak kunjungan ke rumah sakit-rumah sakit, berkeliling Indonesia untuk datang dan menjadi penyemangat ODHA, saling bantu dan menerima curhatan ODHA. Tapi dari sekian banyak aktivitas itu, saya menemukan satu mozaik yang hingga kini masih tersimpul kencang dalam ingatan saya. Kenangan itu saya simpan di laci otak saya untuk sesekali bisa saya buka dan ambil kemudian dibaca sewaktu-waktu. Kenangan yang membuat saya lantas bisa berdiri tegar hingga sekarang. Sebagai tanda bersyukurnya saya, ijinkan saya kembali menceritakan penggalan pengalaman itu pada kalian semua :

Tahun 2010, Saya sedang meniti karier kepenulisan dengan menjadi Tim Kreatif di PH milik H. Deddy MIzwar Citra sinema. Pekerjaan dengan ritme tinggi dan tumpukan deadline tak terbatas membuat hari-hari saya penuh dengan kekacauan yang menyenangkan. Saya mulai menjadi nocturnal dan nyaris selalu menulis tanpa jeda yang jelas. Hari-hari adalah waktu yang memadat tanpa libur yang nyata. Saya terjebak dalam kerja stripping dan bentakan Creative director setiap saat. Meskipun saya bahagia, saya mulai perlahan melupakan ODHA. Perlahan sekali.

Inay yang juga sudah bekerja di KOMNAS Perempuan sebagai Konselor lebih beruntung dari saya. Kesehariannya jelas membuat dia sedikit banyak berinteraksi dengan masalah keperempuanan, salah satunya tentang penyakit HIV/AIDS. Suatu hari di bulan november akhir, dia menelpon saya dan mengajak saya untuk ikut dalam program kantornya di Bandung. Programnya di beri nama " Harta Karun ODHA ". Program itu memfasilitasi para penderita HIV/AIDS untuk berkumpul dan berbagi dan kemudian berbahagia bersama demi kesehatan mereka. Saat Inay menelpon dan mengajak saya sebagai pengisi acara, mendadak kepala saya seperti di jitak. Saya tertegun, sejak saya bekerja tanpa istirahat ini, jiwa saya ternyata sudah sedemikian jauhnya dari mereka. Maka saat itu juga saya mengetik surat cuti dan mengajukannya tanpa peduli pelototan Creative director sebab sinetron kami sedang tayang dan butuh dedikasi saya disitu.

Harta Karun ODHA mengikat saya selama 3 hari di bandung. Saya kembali berkumpul dengan para ODHA. Saya kebagian jatah di session curhat sebagai pembaca surat. Di session itu ODHA akan menuliskan surat dan akan kita baca satu persatu untuk kemudian di bahas keesokan harinya. Siang saat session itu berlangsung, saya duduk di samping ODHA muda berusia 16 tahun. Perempuan manisdengan tubuh sangat kurus dan bermata cekung. Dia sudah 3 tahun mengidap HIV/AIDS. Namanya Gina. belum 5 menit, Gina sudah selesai menulis dan mengangsurkannya pada saya. sementara yang lain masih sibuk menunduk menatap kertas dan bolpoint. saya mengeryit heran, saat saya tanya kenapa dia secepat itu menulis surat, apakah dia tidak ingin menyampaikan keluh kesahnya pada saya, Gina hanya tersenyum dan duduk di sebelah saya. katanya " Gina tidak mau mengeluh kak, tadi Gina hanya menulis Alhamdulillah, karna Gina sudah di beri penyakit ini. Dengan begitu Gina tau kira-kira kapan Gina akan mati dan lebih bisa mempersiapkannya. " Saya mengerjap-ngerjap. seorang anak kecil, dengan cobaan hidup yang tidak terperi begitu, bisa menampakkan kedewasaannya dihadapan saya. Kembali saya seperti dibanting keras, ada rasa malu perlahan-halan nongol di hati saya. KOk bisa, saya yang sehat dan diberi kenikmatan ini masih suka marah dan mengeluh atas cobaan ringan yang hanya seujung kuku dari cobaan yang dialami Gina? KOk bisa??

Dikamar hotel malamnya berdua Inay, saya membaca satu persatu surat itu. Sesenggukan saya menangis tidak berhenti setiap kali mengakhiri satu surat dari mereka. Betapa saya mendapatkan pengalaman hidup luar biasa di sini, betapa saya yang ternyata harus berterimakasih pada mereka karna telah menjadi guru yang baik bagi hidup saya. Betapa hebatnya mereka karena bisa dengan baik memompa semangat mereka kembali untuk tetap survive dengan apapun. Saat itu saya teringat larangan ibu saya ketika saya akan berangkat menemani ODHA yang sedang di rawat di RS Sardjito Jogja. ODHA yang akan saya temui ini sudah mengalami isolasi karena kritis dan sudah koma. Ibu saya memerintahkan saya untuk membatalkan tugas itu akrena khawatir saya tertular. Saya juga ingat begitu banyak teman yang menjauhi saya sebab mereka tau sehari-hari saya bergaul dengan ODHA. mereka mengira suatu hari nanti saya akan tertular virus itu. Saya meringis mengingat itu semua, saya nyeri bukan main dengan minimnya empati di sekeliling saya.

Hari terakhir di bandung, panitia mengadakan acara makan bersama. Disitu tak terlihat perbedaan antara Volunter dan ODHA. kami makan dalam satu meja bersama. Memesan menu bersama dan bercanda bersama. Dalam satu sesi, saya bahkan icap icip es teller dan Ice Cream dengan bertukar makanan para ODHA. dan setelah itu pulang. Saya membawa rasa terimakasih yang begitu besar dari mereka.

Keesokan harinya saya sudah kembali ngantor, pekerjaan yang saya tinggalkan selama 3 hari ternyata sudah menunggu saya bak singa kelaparan. MInta segera di kenyangkan. Saya tenggelam dalam lautan editing naskah yang berjumlah ribuan halaman. Sampai saya tidak menyadari, ada sms masuk ke hp saya. Tengah malam, baru saya sempat membuka pesan-pesan yang masuk. Dari sekian banyak pesan yang masuk, saya tertegun pada satu pesan yang berasal dari nomor tak dikenal.

Mbak, terimakasih sudah membangkitkan kepercayaan diri saya. Terimakasih sudah mau memakan ice cream dari sendok yang sama dengan saya. Hani juga menitipkan pesan mengucapkan terimakasih karna mau dan tidak jijik menyeruput Es Jeruk dari sedotan yang sama dengan Hani. Terimakasih telah membuat kami percaya bahwa kami bukan najis yang harus dibedakan "

Saya melongo. Saya bahkan tidak sadar tadi telah melakukan itu semua. Sejak awal di tahun 2005 saat mendaftar jadi Volunter, kami sudah dibekali ilmu tentang penyakit itu. Saya tau, makan satu sendok dengan mereka tidak akan membuat saya tertular. dan saking enjoynya kemarin, saya tidak memperhatikan apa yang saya lakukan ternyata begitu berpengaruh besar terhadap mereka. Sms itu masih saya simpan di hati saya sampai sekarang. Saya sering mengingatnya untuk menyemangati diri sendiri. Tidak ada yang lebih bermakna dari hidup yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Terimakasih ODHA, terimakasih sudah memberi saya begitu banyak pelajaran. Tetap kuat dan semangat.



Kamis, 20 November 2014

Setahun Perjalanan Kami

Pagi ini 21 November 2014, adalah hari dimana saya diwisuda sebagai perempuan. Hari dimana saya baru bisa berani bilang : Ya, saya seorang ibu. Hari dimana anak kedua saya Arior, genap berusia 1 tahun. Selamat ulang tahun nak. Doa mama di nadimu.

Saya adalah ibu dari 2 anak manis dan sangat pintar. Yudith Airin Puandira ( Perempuan, 6 tahun ) dan Muhammad Arior Kaisar Purnama ( Lelaki, 1 tahun ). Airin dan Arior tumbuh dengan gemilang dan baik. Saya bersyukur bisa melewati tahap berat dalam hidup saya. Bersyukur karna akhirnya saya mampu di posisi sekarang dan tersenyum melihat semua hal yang sudah saya lewati di belakang sana.

Airin dan Arior, memiliki perbedaan besar yang kerap kali terus saya takjub dan mensyukurinya. Seperti yang sudah pernah saya tuliskan di 2 postingan saya sebelum ini, bahwa Airin adalah tipikal anak sangat pendiam dengan bakat seni yang tak pernah mampu saya ejawantahkan. Sedangkan Arior adalah lelaki super aktiv dengan kemampuan membaca situasi tinggi. Juga dalam mendidik keduanya, saya jujur lebih puas mendidik Arior.

Airin adalah anak pertama, cucu pertama dan kehebohan pertama dalam keluarga besar saya. Dari mulai proses melahirkan, sampai kelahirannya ( Saya mengalami SC / biasa disebut Operasi Caesar ) Airin mendapatkan pengawalan penuh dari keluarga besar saya dan suami. Saat Airin menangis, bahkan bukan suami saya yang akhirnya pertama kali memegangnya, tapi mertua saya, kemudian orang tua saya baru suami saya. setelah itu bergiliran para bude dan pakde kemudian baru saya. IMD yang saya lakukan terhadap Airin nyaris buyar sebab para orang tua tersebut gagal paham apa itu IMD yang akhirnya merasa kasihan pada Airin dan nyaris mengambilnya dari dekapan saya. Belum lagi setelah itu, dua minggu pertama pasca kelahiran Airin, ibu saya juga mertua perempuan saya nyaris tidak pernah memberikan Airin pada saya kecuali saat menyusu. Semuanya mereka yang melakukan mulai dari memandikan, memijat hingga menidurkan. Saya kemudian hanya berfungsi sebagai ibu susuan yang selalu balik badan sembari ngedumel karna sebal tak mendapat jatah menggendong. Meskipun saya tetap memiliki masa Quality Time berdua Airin setelah dia berusia 1 tahun keatas, tapi waktu yang hanya sedikit itupun masih terus direcoki sana sini. Saya sebal dan meradang. Saya butuh waktu berdua anak saya dan memandirikan diri.

Pengalaman hamil kedua, saya kabur dari rumah Ibu dan mertua saya. Berdua suami kami mencari rumah yang jauh dari keduanya. Pengalaman anak pertama membuat saya belajar bahwa saya harus benar-benar tegas jika ingin seutuhnya jadi ibu. Bulan pertama hingga akhir kehamilan saya lewati hanya berdua suami. Saya melakukan aktivitas padat dan sehat dengan sangat mandiri. Betapa saya merasakan kenikmatan saat muntah-muntah di pagi hari dan hanya suami saja yang memijat tengkuk tanpa perlu mendengarkan opsi sana sini dari para orang tua. Betapa lega tubuh saya berjalan dan beraktivitas tanpa perlu di ganduli gunting, silet dan peniti karna ketakutan leluhur pada kuntilanak yang mengincar janin di dalam perut saya. Betapa bahagianya saya bisa pulang jam 2 pagi bersama suami karna masih beraktivitas padat tanpa perlu omelan sebab kandungan saya nantinya kena sawan ini itu dari mahluk-mahluk astral. Masa kehamilan kedua saya, dilewati dengan kemandirian super tinggi. Saya puas akan itu.

sehari sebelum kelahiran Arior, saya dan suami masih mengunjungi daerah Senopati untuk belajar cara pijat bayi oleh pakar urat bayi dan dokter spesialist anak. Hari itu memang terasa jauh lebih melelahkan di bandingkan perjalanan di hari lain. Perut terus kencang selama dalam kemacetan di Piere Tendean kemang. Sampai rumah saya di Menteng, perut semakin terasa mulas. Malam hari sebelum tidur, saya dan suami membereskan baju-baju Arior dan merapihkannya di Lemari. Tepat pukul 12 malam, saya tertidur untuk kemdian terbangun 3 jam kemudian karna pecah ketuban. Berdua suami, kami datangi RSCM dan melakukan persiapan Operasi. Tanpa memberitau siapapun. Hanya berdua saja. Saya mempersiapkan mental sendiri, berdoa sendiri, sementara suami mengurus administrasi dan kelengkapan operasi bersama para dokter yang juga sendirian. Saat itu saya yakin, inilah ujian terberat saya yang kelak akan mematangkan saya menjadi seorang ibu sepenuhnya.

Setelah Arior lahir, barulah suami memberi kabar kesana sini, dan saya saat itu sudah memegang Arior untuk memberikan Asi pertama sembari tersenyum puas. Inilah anak saya, anak yang langsung menemukan kulit saya untuk dia dekap. HIngga 3 hari setelah melahirkan dan kami pulang sendiri ke rumah, saya pun mendapati pengalaman pertama memandikan bayi semerah itu. Saya terharu saat berdua suami harus membersihkan tali pusat yang belum lepas, saya geli sendiri saat tengah malam Arior menangis karna mengompol. Dan setelah seminggu pasca melarikan, saya dinobatkan sebagai ibu tunggal sebab suami saya mulai bekerja dan saya hanya berdua Arior tanpa dibantu siapapun. Tanpa siapapun.

Dengan luka jahitan yang masih basah saya mengurus Arior dengan kemampuan yang saya miliki. Saya memijit dia sendiri, saya bernyanyi sendiri, saya menyusui sendiri. Semuanya sendiri. Arior adalah anak saya, yang saya urus sejak bayi tanpa bantuan siapapun. Tanpa siapapun.

Kepuasan mengurus anak itulah yang menjadikan Airin dan Arior berbeda. Airin bagai hadiah untuk keluarga besar kami, dia dimanjakan sana sini meski saya melihat Airin tak menyukai itu semua. Sedangkan Arior, adalah hadiah untuk sikap teguh saya memegang prinsip kemandirian, dia adalah diksar saya dalam mentasbihkan diri sebagai ibu.

Pagi ini, saya menatap Arior yang masih pulas tertidur sebab kemarin baru saja kami ajak mengunjungi Festival Budaya Anak Bangsa. Saya melihat Arior tumbuh sempurna dengan bahagia. Setahun ini, saya telah melewatinya dengan luar biasa. Pengalaman berharga yang tidak pernah bisa saya ganti dengan apapun. Kelak, kita akan melewatinya dengan terus bersama nak. Kita akan terus bersama. Selamat Ulang tahun. Barakallah.

Minggu, 09 November 2014

Arior di IDF

Di jakarta langit berwarna orange terbakar begini sulit sekali didapat, harusnya saya keluar dari balkon rumah saya kemudian menatap lekat-lekat keatas. Saat ini langit sedang indah-indahnya. Tapi saya terpaksa urung, masuk kedalam dan membuka komputer. Saya ingin bercerita.

Hari sabtu kemarin, saya dapat undangan menghadiri acara IDF ( Indonesia Dance Festival ). Kebetulan saya kenal beberapa teman didalamnya dan cukup dekat dengan salah satu panitianya. Dari sekian padat acara IDF sejak tanggal 4-8 November kemarin, saya hanya tertarik pada acara yang terakhir yaitu IDF untuk ibu dan anak " Menumbuhkan minat dan bakat anak " . Acaranya berlangsung jam 4 sore di Salihara pasar minggu.

Arior, yang memang sangat menyukai berkumpul denganbanyak orang tentu saja kegirangan saya bawa masuk kedalam ruangan pementasan. Ada sekitar 10 pasang ibu dan anak yang mempersembahkan pertunjukan tari kontemporer dengan tema kehidupan sehari-hari. Menarik dan sangat pas ditonton untuk ibu dan anak. Tentu saja memang pertunjukan kali ini sudah di setting untuk hal tersebut. Tapi kali ini, saya tidak ingin membahas tentang isi dari pertunjukkannya. Tapi saya akan membahas tentang Arior, my partner in crime.

Saya memperhatikan, Arior adalah anak yang sangat maskulin. Dia akan sangat terlihat elegan didepan banyak orang. Arior bisa menatap tajam satu-persatu orang yang baru ditemuinya tanpa rasa takut sedikitpun. Matanya yang coklat bulat membola besar itu menjadi sedemikian berkarakter jika sudah begitu. Saya yakin, andai matanya adalah sungai, Arior entah sudah menenggalamkan berapa banyak orang melului tatapannya saja.

Arior aktif, bahkan sangat aktif. Tapi berbeda dengan anak aktif lainnya, Arior mampu melihat situasi. Saat sedang duduk dihadapan banyak orang, dia akan dengan sangat tenang berwibawa. duduk santai dan damai, tidak membuat saya kewalahan dengan mengejarnya kesana kemari. Seperti saat pertunjukkan dimulai, Arior duduk santai sendiri tanpa saya pangku di matras paling depan panggung pertunjukkan. Mata tajamnya tidak berpindah sedikitpun dari para penari dedepannya. sikapnyatenang sempurna membuat saya geli dan ingin memeluknya. Arior memang sangat paham bagaimana harus bersikap sesuai tempatnya. Saya bangga akan itu.

Setelah pertunjukkan selesai dan sesi diskusi dimulai, sifat aktifnya mulai muncul. Arior mulai berjalan mendekati beberapa orang disekitarnya yang bahkan tidak dia kenal, mengajaknya ngobrol dengan bahasa absurdnya dan bersalaman. Nyaris semua penonton di ruangan itu terbahak dengan sikapnya. Termasuk saya dan papahnya. Bahkan saat ada ibu Retno, sang maestro tari masuk dan menyampaikan salam, Arior adalah orang pertama yang dengan lantang menjawab salamnya sembari melambaikan tangan. Dia membuat terbahak  ( sekali lagi ) penonton yang ada di ruangan itu. ayangnya, saya tidak bisa mengambil gambar karena acara ada didalam ruang teater dengan pencahayaan sangat minim.

Dalam dunia anak, biasanya anak aktif adalah anak aktif. Dia tidak akan mau tau sedang ada acara apa dan dimana. Dia tidak akan peduli apakah itu membuat repot ibunya atau tidak. Tapi arior berbeda, saat dia ada dirumah, di taman bermain, di wahana bermain, Arior sangat tidak bisa dipegang. Tenaganya seperti 1000 gajah dan lincahnya melebihi kupu-kupu. Seringkali karena ulahnya sendiri dia terjatuh dan tanpa menangis kemudian bersemangat untuk bangun lagi. Tapi jika sedang dalam acara yang melibatkan banyak orang, Arior akan sangat tenang. Sangat damai. Meskipun sejujurnya saya tidak akan marah jika dia membuat ulah seperti biasanya, lari-lari, lompat sana sini, jungkir balik di mana-mana, ngotorin baju tanpa perlu lihat tempat, atau berteriak dan merebut microphone di depan manggung. Saya percaya, andaikata dia melakukan itu-pun saya akan meledeninya untuk mengejar, menjaga dan melindunginya. Semuanya akan terasa wajar karena dia memang anak kecil yang sangat aktif. Tapi syukurlah, Arior tidak melakukan itu. Anak baik dan sangat sopan ini selalu membuat saya bangga dengan sikap dan pengertian yang luar biasa. Dengan Arior bersikap kooperatif, maka saya akhirnya mampu menikmati acara diskusi dengan baik, saya bisa menyerap ilmu-ilmu dengan sempurna, dan semoga saya bisa mengaplikasikannya dirumah.

Begitulah Arior, pria kecil dengan sikap yang sungguh menakjubkan. Saya mencintai kedua anak saya sama besar. Tanpa perlu terbagi-bagi. Keduanya sungguh menakjubkan.

oiya, untuk sekedar info, ada perkumpulan ( komunitas ) mamaku penari yang di prakarsai oleh beberapa teman Jebolan Seni Tari IKJ. Dimana komunitas itu ditujukan untuk para penari( mantan Penari ) yang sudah menjadi ibu, atau para ibu yang suka menari, untuk terus mengembangkan hobynya bersama putra putrinya. Infonya ada pada saya dan kalian bisa kontak saya untuk kemudian saya sambungkan langsung pada sekretariat komunitas itu. Serius, mereka sungguh keren dan sangan peduli pada perkembangan anak. Melalui komunitas ini, kalian para ibu tetap bisa fokus dengan perkembangan anak kalian, tapi juga enjoy dengan hidup kalian. Lets Try mom !!

Kamis, 06 November 2014

Please welcome : Airin dan Arior,

Airin Keren, Arior Hebat. Saya punya dua anak yang selalu dan terus bisa di banggakan.

Tahun 2008 Airin lahir. Cantik sekali. Rambutnya hitam legam tebal dan kulitnya putih bersinar. Warna yang kontras itu membuat wajah ayunya makin kentara dan dua mata bulat beningnya jelas terlihat. Dia langsung jadi kebanggaan keluarga. Yudith Airin Puandira.

Mba Ai - beitu kami lantas membiasakan diri memanggilnya- tumbuh menjadi anak yang super penurut. Dia tidak pernah memprotes apapun. Masa kecilnya ia lewati dengan menggambar dan menggambar. Sesekali ia keluar main bersama teman, sesekali ia rewel minta jajan, sesekali ia merengek pada saya. Tapi itu hanya sesekali dan tak pernah bertahan lama. Ia lantas sangat tekun belajar, membantu saya dirumah dan semua hal magic bagi anak kecil lainnya lakukan. Hal itu menambah rasa cinta saya makin besar padanya. Saat ini, ia ada di Jawa tengah, tinggal bersama ibu saya dan menemani beliau sebagai putri yang sangat manis dan pintar. Saya selalu merindukannya, bahkan ketika tertidur sekalipun. Kerinduan itu, lantas menjadi obat untuk setiap sakit dan luka yang ada kemudian.

November 2013, Adiknya lahir. Pria ganteng dengan raut wajah macho dan cerdas. matanya bulat tajam dengan warna kecoklatan di tengah membola. Kulit putih bersih dengan rambut halus membuat dia menjadi sumber energi saya kemudian. Muhammad Arior Kaisar Purnama. Nama itu kelak akan menjadi legenda di dunia ini.

Mas Rior - kami kemudian membiasakan memanggilnya begitu- adalah anak yang super duper aktif. Dia seperti tak punya lelah. Kebalikan dari mba Ai yang super penurut, Mas rior adalah gambaran pemberontak cerdas dengan keberanian bak hercules. Saya terus saja dibuat kewalahan dengan kelakuannya setiap hari, bagai singa yang memimpin, Mas Rior sadar dia bisa jadi pucuk pimpinan sejak kecil. Dia ingin yang terbaik dalam hidupnya, dia tidak suka dibelikan makanan bubur pinggir jalan, dia hanya mau gandum tim keju buatan saya sendiri. Itu salah satu contoh kelakuan hebatnya.

Dua mba dan mas saya ini, selalu membuat saya tak pernah henti bersyukur. Jika mba Ai rela saya tinggal kemana pergi, mas Rior akan selalu ada di depan saya untuk melindungi saya. Mba Ai akan terus menyemangati saya dari belakang, mas Rior yang akan menarik saya untuk berlari kencang. Mba Ai begitu mencintai seni yang merupakan satu bagian dari hidup saya, mas Rior sangat menyukai diskusi yang juga satu bagian dari diri saya. Rasanya, dari dua anak ini kehidupan saya menggenap. Lengkap dan sempurna.

Ketika saya harus bekerja di jakarta, mba Ai merelakan diri terpisah dari saya dan terus membuat saya bersemangat dalam bekerja. Hari-harinya yang tanpa saya diisi dengan kemandirian dan kerelaan yang dalam. Untuk anak sekecil itu, sikap dan sifatnya ini kadang membuat saya nelangsa sekaligus bangga. Saya yang sudah setua ini, merasa tak malu untuk mengakui bahwa tingkat keihklasan saya tertinggal jauh di belakang mba Ai. sangat jauh.

Mas Rior lain lagi, dia adalah anak yang sangat memahami kondisi. Dia selalu saya bawa kemanapun saya pergi. Sejak lahir hingga kini, saya dan dia belum pernah terpisah. Dengan kenyataan tersebut, mas Rior membuat nyaman diri sendiri dengan memahami kondisi perjalanan. Saat temu sastra Asia tenggara kemarin, kami membawa Mas Rior, dengan jadwal kegiatan yang tak berhenti dari pagi hingga tengah malam, Mas Rior kuat dan membuat acara itu rumahnya sendiri. Dia bermain dengan peserta lain yang seumuran saya bahkan jauh lebih tua dari saya. Jika ada kesempatan istirahat dia akan tidur dengan nyaman meski itu harus di bus atau di hall acara. Ada lahan bermain dia gunakan dengan bahagia, ada makanan yang dia bisa konsumsi mas rior akan makan dengan sopan. Kemudian, bukan saya atau ayahnya yang lantas jadi bintang di acara itu, tapi justru dialah super star itu.

Saya merasa inilah kehidupan saya yang luar biasa. Mba Ai dan Mas Rior akan jadi kombinasi yang dahsyat di masa depan. Mba Ai dengan sikap tenangnya dan mas Rior dengan keperkasaannya. Mba Ai adalah perempuan yang sangat lembut penurut, Mas Rior adalah lelaki tangguh pejuang. Fabiayyi Allaa Irobbikuma tukadziban. Maka Nikmat Tuhan mana lagi yang akan aku dustakan.

Senin, 03 November 2014

Dunia Politik Dunia Bintang.

" Dunia politik dunia bintang, dunia pesta pora para binatang. " 
Iwan Fals. 


Lirik lagu diatas rasanya cocok untuk menggambarkan kondisi politik negara kita saat ini. Porak poranda, pesta pora. Belum usai. Dan terus terulang, rakyat yang jadi korbannya. Hanya saja kali ini, Rakyat mulai ikut ambil bagian sebagai pelaku kerusakan. Tentunya dibantu oleh sistem luar bisa bernama media sosial. Aplaus meriah untuk Zukerberg, Dorsey, Morin, Systrom dan Krieger, juga beberapa nama-nama lain sebagai penemu banyaknya jejaring sosial akhir-akhir ini. Dan indonesia, semelek apapun masyarakatnya terhadap internet masih saja tetap gagap akan keadaan ini.
Saya bukan siapa-siapa, bukan pengamat politik yang pandai membaca manuver demi manuver panggung politik, juga bukan ahli tata negara yang terus mencoba mengamati bagaimana pemimpin negeri ini mengatur dan membenahi negaranya. Saya cuma seorang ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak. Dan saya penulis. Jadi inilah yang bisa saya lakukan.

Sejujurnya, sejak dahulu saya benci politik. Terutama politik Indonesia. Entah dengan negara lain, tapi saya merasa politik di Indonesia tidak hanya kacau dan busuk melainkan sudah masuk dalam ranah menjijikkan. Tapi kemudian Inay ( almh Sahabat terbaik saya ) mengingatkan, dalam hidup kita harus selalu menggunakan politik. apapun ada politiknya, berteman, tidur, makan, bahkan -maaf- buang air pun ada politiknya. Makan misalnya, kita harus menggunakan politik agar nasi yang kita ambil bisa habis bersamaan dengan lauk yang ada di piring kita. Sehingga kita tidak perlu mengambil kekurangan nasi/ lauk ditengah proses makan itu. Hal sekecil ini, akhirnya mampu menyadarkan saya. Mau tak mau, suka tak suka, hidup kita sudah terjebak dalam suatu  medan perang bernama politik. Maka selayaknya dinikmati saja. 

Saya saat ini bersuai 28 tahun, usia yang sangat belia untuk sok tau tentang politik. Saya pasti diketawain banyak orang setelah memposting ini. Tapi saya gak peduli, sejak awal blog ini kan memang saya tujukan sebagai tempat sampah hati saya. Membuang sebal dan kekacauan pikiran. Saya selalu  merasa lega jika sudah menulis disini. 

Indonesia mengalami perang besar dengan bangsanya sendiri. Perang egosentrisme, dimana semua orang merasa berhak untuk mengatakan tentang haknya tanpa mempedulikan hak orang lain. Dan jika ada yang tidak sejalan dengan pemikirannya : Tendang! Indonesia, terutama masyarakatnya lupa untuk kembali ke diri awal negara besar ini yaitu Bhineka Tunggal Ika. Sejak dahulu, awal terbentuk negara ini memang keberagaman, perbedaan dan persatuan. Kita terdiri dari jutaan pulau yang tersebar dan di pisahkan lautan maha luas, kita terbentuk dari miliaran suku dan etnis juga adat yang jelas berbeda satu sama lain. Lalu, sekarang kemudian kita terpecah membelah hanya karena 2 perbedaan : Koalisi Merah-putih dan koalisi Indonesia hebat. Ada apa ini?!

Semua masyarakat, dari mulai sahabat saya, teman dekat, kenalan, om, tante, kakak-adik, ayah-ibu, semuanya berperang dengan saudara yang berbeda paham. berbeda pilihan. Ada kalimat yang bikin saya jengkel setengah matai : " Kita begini, karna pemerintahnya lebih-lebih. Pemerintahnya menstimulus kita untuk saling membenci. Masing-masing koalisi mengirimkan manuvernya dan membuat pendukungnya saling membenci satu-sama lain. "

Helloooo, ingat saya dulu pernah bilang Bahwa : Objektifitas adalah Subjektifitas+subjektifitas. Semua pendapat objektif itu hanyalah kumpulan kesepakatan bersama dapi pendapat subjektif beberapa orang yang merasa sepaham. Mau contoh konkritnya ? yuukk saya kasih tau :
Gelas misalnya. Siapa yang sepakat bahwa tempat minum kita yang berbentuk cekung dan memanjang keatas itu bernama gelas? apa itu muncul dengan sendirinya? Jelas tidak. Kesepakatan penyebutan tempat minum hingga di sebut Gelas melalui proses pengumpulan pendapat satu-satu manusia. Yang biasa kita sebut dengan pendapat subjektif. Kemudian ketika pendapat-pendapat subjektif itu mulai terkumpul dan tersepakati, maka jadilah pendapat objektif yang mengatakan bahwa benda tersebut bernama gelas.

Apa urusannya dengan politik kita? Ya itu tadi, bahwa kita ikut ambil bagian dari perpecahan ini. Bahwa sebab kita mau saja di pecah belah dan ikut pendapat subjektif dari satu-satu orang di masing-masing koalisi akhirnya membuat pendapat mereka absah dan di sepakati bersama. kemudian perpecahan itu muncul, lantas kita lari dari tanggung jawab dengan melemparkan sebab itu pada orang diatas kita. Sama hal nya dengan korupsi. Kita di bawah teriak-teriak korupsi ini itu, tapi kita sendiri secara gak sadar melakukan hal yang sama. Kita ketilang dan lebih milih bayar ditempat, kita urus BPJS aja lebiih milih nitip ke orang, kita urus sekolah anak kita aja malas menunggu lama dan memilih membayar lebih demi cepat selesai. Apa itu namanya? selain kita mendukung adanya tindak korupsi, kita juga sebenarnya telah melakukan hal yang sama. Podo wae sami mawon.Kasus hukum pun begitu, Maskapai yang tidak representatif diteriaki suruh ditutup, tapi kita tetep aja make jasanya ketika butuh armada untuk transportasi. Kita sebal karena salah satu provider sinyalnya jelek, tapi tetep aja bertahan menggunakannya. Ya mau bagaimana itu semua bisa tuntas kalau kita mendukung kok keburukan itu.

Kita itu harusnya kompak, saling mendukung dan saling menerima. Koalisi merah putih harus menerima dan mendukung Presiden Joko Widodo dalam pemerintahan 5 tahun kedepan. Pun begitu sebaliknya dengan Koalisi Indonesia Hebat, ayolah untuk menerima dan mendukung pimpinan kabinet di parlemen. Dan kita sebagai masyarakat dibawah mereka, gak perlu sok tau dengan menelaah ini itu yang justru lantas ikut dalam kancah perseteruan. Bikin panas suasana. Ini era dunia cyber, tapi belum tentu kita menguasai cyber. Jadi inget kasus Ahmad dhani tentang sumpahnya -maaf- Memotong kelamin jika orang yang didukungnya kalah. Ngeri banget lihat para pendukung dari halaman seberang meminta sumpah itu terlaksana. PAdahal, mereka itu gak menguasai twitter, medsos dimana sumpah itu keluar melalui akun milik Dhani. Saya aja yah yang bukan IT, ngerti kalo itu cuma photoshop. Cuma editan. Tapi saat itu percuma ngasih tau mereka, mengingatkan bahwa mereka sudah jahat memfitnah orang. terlepas dari sejujurnya saya secara pribadi kurang sreg dengan Dhani sendiri. Juga tentang abang tukang sate itu. Para pendukung Prabowo lantas ambil bangian dengan mencaci maki penangkapannya, padahal si tukang sate itu memang salah kook. Dia jahat loh dengan mengedit foto begitu. meski kita semua tau itu gak benar, tapi tetap saja itu hal jahat. Pak presiden harusnya kita hormati, kita lindungi dan kita dukung supaya hidup kita sejahtera. Bukan dengan terus mencari kesalahannya meski kita gak memilih dia saat pemilu kemarin. Mana ada sih manusia yang sempurna. Rasulullah saja beberapa kali di tegur Allah karena kesalahannya kok.

Belajarlah jadi manusia yang bijaksanasini, bisa menyaring semua informasi dan memfilternya untuk mengambil yang baik saja. Belajarlah untuk tepo seliro dan gak ikutan ngomporin suasana makin panas. Toh kita gak ada untungnya dengan begitu. Gak akan bikin hidup kita sejahtera. Terima apa yang ada dan berbahagialah dengan itu semua. disitu letak kesejahteraan yang sesungguhnya.

-Love-

Ami.