Minggu, 26 Agustus 2012

Filosofi tak beraturan.

soreeeeeeee, Lebaran apa kabar ? klise yah kalau saya bilang maaf lahir bathin kali ini tapiiiii hati saya selalu memaafkan kalian :b, ini masih bau-bau lebaran nih jadi jangan protes kalau saya bikin postingan tentang lebaran dan teman-temannya.

Anyway saya sudah dikampung bareng sama anak saya, sama satu keluarga saya dannnnnn sama pacar. Dikampung itu yang namanya lebaran selain sakral, crusial, dia juga agak-agak anomali. kita mesti jalan dari satu rumah ke rumah lain cuma buat salaman, minta maaf, minun teh, basa-basi sebentar, pulang teus kerumah sebelah mengulagi hal yang sama sampai berkali-kali sampai perut kembung, stok maaf masih banyak  sementara kita engga tahu kita ikhlasa atau engga minta maaf, yang dimintain maaf ikhlas engga kalau kita minta maaf. Kita hanya melakukan ini karena kultur tapi lupa sama kepentingan yang paling utma yaitu silaturahmi. Padahal yang namanya minta maaf itu harusnya setiap hari atau setiap kita melakukan hal yang salah  engga peduli hari senin, selasa, rabu, hari kemerdekaan Indonesia, hari kemerdekaan Kongo.

Jadi, kalau saya ngerasa aneh sama acara salam-salaman lebaran itu cuma karena pengkultusan  yang berlebihan terhadap hari Idul Fitri. Pengkultusan yah bukan hari lebarannya, tapi yang namanya hidup itu selalu ada hal menarik untuk diminikmati salah satunya ketika kita mampu membaca singkronisitas dari alam kepada kita atau kepada sekeliling kita. Dan hari diantara agenda jalan-jalan yang dinomerduakan itu saya nemuin satu lagi filosofi tentang hidup. prinsip. idealisme dan ornamen yang membuat kita merasa jadi orang paling hebat. Filosofi itu adalah: Undur-undur.

Namanya Undur-undur (bahasa Jawa) hidup dipasir membentuk lingkaran kedalam yang menyerupai gelombang air. Hanya bisa berjalan dipasir dengan cara mundur. Cara mengeluarkannya dengan memasang umpan semut yang diletakkan pada gelombang pasirnya. Aneh, semut yang biasanya lincah mendadak lumpuh tak bergerak terserap pasir. Hanya digelombang itu saja tidak diarea pasir lain. Undur-undur sendiri jadi raja ketika di pasir. Namun abdi ketika di media lain. Filosofinya: kita merasa kuat ketika daerah yang kita pijak membri ruang dan apresiasi berupa habitat yang nyaman dan senantiasa memampukan kita untuk jadi hebat, teryata tidak dengan dunia. Kita akan lemah, tak mampu, lumpuh dan gagap ketika ada di dunia dengan objek yang berbeda dengan habitat kita. Jauh-dekat. Namun, tak ada salahnya kita percaya diri. Buktinya, Undur-undur itu ternyata kecil saja. Jauh lebih kecil dari semut. Tapi lihat, dia mampu menjebak semut tanpa perlawanan sama sekali.

 ternyata filosofinya bukan hanya itu. saya menemukan undur-undur tepat ketika semut masuk dalam jebakan lingkaran pasirnya. mendadak saya banyak mendapat amunisi hidup. bekal yang tak pernah saya sangka akan menemukannya di sebuah pasir kecil dengan hewan-hewan yang kecil pula. mari kita telaah lebih dalam lagi mengenai undur-undur ini.

Undur-undur, dia itu cuma hewan kecil yang jalannya mundur. karna itu namanya undur-undur. bentuknya bahkan gak keliatan sama sekali. kecil, item gak menarik. jauh lebih kecil dibanding semut yang terjebak itu. awalnya, saya mikir, ini undur-undur pasti gede, panjang kakinya banyak... #oke, saya salah tangkep. itu namanya si kaki seribu. begitu saya tau dan liat langsung pemilik jebakan pasir itu, yaelahhh, itu hewan kayak kutu. seriusan, kutu tau kan kalians? Nah, undur-undur itu lebih gak keren lagi. makanya saya kaget, kenapa filosofi itu kok mendadak dateng dari si tak berarti itu?

Hewan sekecil undur-undur aja bisa bikin mahluk lain gak berdaya di habitatnya,. Undur-undur itu ibarat panglima perang yang dengan cerdik memasang perangkap di depan benteng pertahannnya. berani mengambil resiko ketika nantinya salah perhitungan dan musuh akhirnya bisa masuk kemudian melaham seluruh istananya. Undur-undur mengambil resiko itu. dengan manis dia mengakhiri perang tanpa perlu berdarah untuk dapat kemenangan. saya tak hanya takjub, tapi kemudian berfikir. apakah benar ini kemenangan? atau cuma sekedar metafor belaka? tau dari mana saya kalo si undur-undur yang menang dan bukannya semut itu?

Kemudian saya mikir, mungkin ini cuma relatifitas yang gak berarti. gak ada gunanya saya ambil filosofi ini. karna emang saya gak pernah tau apa yang terjadi setelah si semut masuk kedalam lingkaran pasir buaran undur-undur itu. saya sempat batal memposting tulisan ini, untuk kemudian saya kembali mendapat filosofi baru tentang teori relativitas.

Pacar saya bilang, yang namanya mahluk hidup itu pasti memiliki kurva segitiga sama sisi dalam hidupnya. diawali dengan perjuangan mendaki hingga ke puncak, kemudian menurun hingga sama sejajar dengan titik awal ketika dia mulai mendaki itu. semuanya adalah teori relativitas. mungkin orang akan mengira, ketika seseorang mengalami penurunan dari puncak segitiga itu, kemudian sampai di titik terendah, dia tiba pada masa akhir diama kekalahan terjadi di pihakknya. tapi, silahkan gunakan relativitas kalian, coba ubah sudut pandang, dan lihatlah, jika kita memutar pandangan dari sudut lain segitiga sama kaki itu, puncak terendah, bisa berubah menjadi puncak tertinggi, taua sebaliknya. jadi apa kawans? sudut pandang. dia yang mempengaruhi bagaimana cara kita menyikapi hidup dan menyelesaikannya. kita, juga semut dan undur-undur itu punya hutang banyak pada sudut pandang. Selamat sore.


1 komentar:

  1. baru beberapa tulisan yang saya baca. tapi dari semua yg sayabaca, saya menemukan alur yang mengalir juga cara penggambaran tempat yang bagus. (Y)

    BalasHapus