Kamis, 18 Desember 2014

Anak dan Bullying.

Hari jum'at. Hari paling baik meskipun semua hari adalah baik.

Sekolah adalah sistem pendidikan yang diterapkan dengan kurikulum terbaik. Setiap sekolah selalu punya program yang diunggulkan. Berbagai macam stimulus akan dilakukan para pendidik untuk bisa menghasilkan siswa dengan prestasi gemilang. Namun secemerlangnya seorang anak, apakah ada gunanya jika semua itu tinggal nama? Ini dia point yang akan saya bahas di postingan kali ini: Sekolah dan siswa Bullying. Selamat menikmati.

Dewasa ini, ada begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak. Ada anak yang dipukuli orang tuanya sendiri sampai cacat bahkan mati. Ada yang di siksa baby sitter-nya sampai lebam-lebam, bahkan ada yang hanya sebab tak mau makan seorang anak dilempar ke lantai oleh pengasuhnya. Fenomena-fenomena ini kemudian banyak disiarkan melalui berbagai media. Dari mulai televisi, radio, koran hingga media sosia. Cerita hingga video yang merekam kejadian tersebut benar-benar jadi bukti kalau moral masyarakat kita mulai mendekati kejahatan Iblis. Yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan anak yang dilakukan oleh anak lain, kita biasa menyebutnya Bullying ( maaf saya terpaksa menggunakan kata western, ini bukan westernisasi, hanya untk lebih mempermudah penceritaan saja )

Dalam setahun ini, entah sudah berapa banyak cerita bullying yang ada di Indonesia. Nyaris setiap minggu, ada kasus Bully yang terkuak dan jadi pemberitaan hangat. Mirisnya, pada setiap kasus yang terjadi, itu tidak menjadikan kita belajar untuk bisa mengambil hikmah dari kejadian itu. Kasus-kasus itu cuma jadi wacana, obrolan para ibu di sore hari. Kalau bagi saya yang jarang ngumpul dengan ibu lain, itu jadi obat pencahar yang terus bikin saya mules dan ingin muntah. Saya tersiksa sebab tidak bisa melakukan apapun.

Pagi tadi, satu obat pencahar lagi masuk dalam tubuh saya. Seperti mengalami penolakan kuat, saya langsung memberontak. Suami saya membacakan artikel tentang seorang anak yang di pukuli kakak kelasnya hingga meninggal di daerah jalan Makassar Jakarta Timur. Saya langsung diam, suami saya menceritakan dengan intonasi yang bahkan tidak bisa saya terjemahkan. Rasa sakit anak itu mencapai mata saya, turun ke hati. Saya membenci ini semua, saya benci sebab saya tidak bisa melakukan apapun pada keadaan ini. Saya benci sebab saya tidak tau harus marah pada siapa, saya benci sebab saya ketakutan hal serupa akan terjadi pada anak-anak saya esok. Saya benci ini semua.

Anak tersebut tidak sengaja menyenggol bahu kakak kelasnya dan menumpahkan jajanan pisang cokelat yang sedang dimakan pelaku. kemudian si kakak kelas marah, menyuruhnya mengganti. sudah diganti, eh si anak masih dipukuli didaerah perut dan pantatnya. Sesampainya dirumah anak tersebut kejang-kejang dan meninggal. Saya membayangkan, apa yang dirasakan anak tersebut saat dipukuli oleh kakak kelasnya. Bagaimana ketakutannya anak itu saat berlari menghampiri tukang pisang cokelat guna mengganti jajanan yang tidak sengaja ia tumpahkan itu. Bagaimana anak itu kemudian minta tolong dan berteriak minta ampun saat di pukuli kakak kelasnya. Bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya. Saya menangis sendiri membayangkan itu semua. Lalu bayangan itu mendekati pada objek yang lebih mengerikan lagi, bagaimana kalau korban itu adalah Arior atau Airin. dan bagaimana sebaliknya, jika si pelaku justru adalah anak saya sendiri. Ya Allah, pada tahap ini saya harus berhenti mengetik dan menghampiri lemari es hanya sekedar untuk mengambil minum. Saya kelelahan membayangkan itu semua.  

Apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita? ada apa ini sebenarnya? Dulu, saat jaman kematian siswa STPDN karena diksar dari seniornya, kecaman demi kecaman keluar dari masyarakat kita. Hingga akhirnya sistem kekerasan didikan militer harus dihapuskan dari sekolah angkatan di Indonesia. Lalu sekarang bagaimana? Ini ada anak menyiksa temannya sendiri, kadang bahkan keroyokan hingga korban meninggal. Dan kasus ini bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Terus gimana? kok semuanya diam saja, kok saya diam saja? kita ini kenapa diam saja?

Saya akui, kediaman kita mungkin bukan cuek. Kita terkesan diam sebab kita tidak tau harus berbuat apa. Andaipun kita ingin berbuat, kita bingung bagaimana sistem mekanisme dan cara melakukannya. Andaikata kita paham semuanya, kita tetap masih terbentur pada sebagian masyarakat yang kurang peduli. Benturan itu kadang membuat kita jadi mati gaya. Kita seperti ada di dunia yang hilang, kita tau cara untuk pulang tapi armada tidak bisa mencapai kita. Dan kemudian kita terjebak didalamnya. Mau tak mau harus ikut jadi penghuni pulau.

Suami saya sering memprotes, kok bisa sih anak sekolah mukulin temennya gurunya gak tau. Kemana aja gurunya waktu si anak itu dipukuli. Kok bisa kecolongan? Saya pun mengeluarkan pertanyaan yang sama dengan suami saya, tapi pertanyaan saya itu merayap bersama pertanyaan yang lain. Itu bukan cuma salah gurunya, itu juga salah orang tuanya. Kemana aja orang tuanya sampai anaknya bisa punya ide sadis mukulin temennya sendiri? apa yang di stimulus orang tuanya sampai anak bisa punya keberanian sehebat itu? Lingkungan seperti apa yang dijalani anak itu sehingga dia bisa punya bakat jadi preman yang hobbynya mukulin orang?

Suatu malam saya dan suami membahas tentang itu, kami sadar begitu banyak faktor yang menjadikan seorang anak bisa jadi seperti itu. Salah satunya yang kami bahas adalah tontonan televisi. Sinetron yang digandrungi bahkan sampai ditiru. Beberapa bulan lalu, muncul unggahan Video dimana seorang anak perempuan di pukuli ramai-ramai di pojokan kelas. Anak lelaki bergantian menendang dan memukulnya, bahkan ketika si anak korban itu sudah minta ampun dan kesakitan. Video itu, mirip dengan salah satu scene di sinetron GGS ( Sorry to say that ). Saya sendiri suka sekali dengan film aslinya Twilight. Konon katanya sinetron itu mengaku meniru cerita Twilight. Saya kecewa, sebagai penggemar Bella dan Jacob, saya benci mengatakan ini bahwa sinetron GGS sama sekali gak sama ama cerita Twilight. Jauh banget. Sebagai seorang penulis skenario, saya kecewa sebab jika memang sinetron itu mengambil cerita Twilight, kenapa cerita yang oke banget itu bisa jadi gak jelas dengan bumbu begitu banyak sampai akhirnya rasanya jadi pahit. Saya mengutuk sinetron itu.

Di Indonesia, tontonan itu bisa dapat rating tinggi kalau mengikuti selera pasar. Nah selera pasar kita yang membentuk ya tontonan itu sendiri. Ngomongin siapa yang salah disini sama aja kayak nebak siapa yang lahir duluan : Ayam atau Telur. GGS harusnya udah di cabut izin tayangnya, sebab di cederai menjadikan contoh buruk bagi anak-anak. Sempat gak tayang tapi kemudian tayang lagi sebab banyak protes dari masyarakat kita yang ngefans banget sama sisi dan Aliando. Gak usah ngomong jauh-jauh, tetangga depan rumah saya punya anak kecil 2 orang dan keduanya fans berat sissy. Adik ipar saya ( yang usianya 7 tahun ) bahkan salah satu penggemar berat sinetron GGS. Apa yang bisa kita perbuat sekarang? Siapa yang salah kalo para ibu juga gak concern sama tontonan anak-anaknya. Tetangga saya bilang, " ah gak papa. Regal sama Cinta ( nama dua anaknya itu ) gak bakalan mukulin temen2nya cuma gara2 nonton GGS. Regal gak begitu kok anaknya. Dia pendiem "

Right. Gimana coba kalo kalian jadi saya? pengen nujes-nujes muka si ibu pakek high heels 17 cm yah? Mungkin anaknya emang kalem, pendiem nurut sama orang tua. Tapi sadarkah dia bahwa yang namanya stimulus itu bisa merubah tabiat seorang anak jadi sangat jauh dari karakter aslinya? Dan untuk ini semua saya bersyukur Airin bukan penggemar GGS, thanks God. Bahkan banyak dari para ibu yang juga penggemar sinetron itu. Ya terus mau diapain kalo udah gitu? Siapa yang bisa mendukung lembaga penyiaran untuk memberhentikan tayangan kalo masyarakatnya begitu? Dan terus sekarang kita bisa apa?

Selain GGS, ada juga pengaruh sistem didik orang tuanya. Ada orang tua yang anaknya salah sedikit aja langsung diomelin kayak anaknya bikin salah udah ngancurin rumah beserta isinya. Didikan itu yang kemudian membuat si anak jadi pribadi yang mudah takut, pendiam dan akhirnya jadi objek Bullying. Atau sebaliknya, anak itu bakalan jadi anak yang penurut dirumah tapi pemberontak diluar rumah. Dia menyalurkan kemarahan akan perlakuan orang tuanya kepada teman teman-temannya di luar. Jadilah dia pelaku bullying. Selain itu juga, ayah dan ibu yang sering bertengkar di depan anak-anaknya adalah contoh paling hebat dimana anakna akan meniru menjadi mereka di luar sana. Seorang ayah yang hobby menyuruh ibu mengambilkan pakaian, akan membuat anaknya ikut meniru memerintah ibunya mengambilkan pakaiannya. Ayah yang tidak mandiri jangan harap bisa punya anak mandiri. Itu contoh gampangnya.

Jadi, setelah saya panjang lebar bercerita gini, apa yang saya dapat? Saya butuh bicara, saya butuh ngobrol dengan teman yang sepaham dengan saya. Mari kita bersekutu untuk bisa memecahkan persoalan ini bersama. Siapa tau persekutuan kita ini bisa menghasilkan ide yang mampu direalisasikan untuk mengurangi terjadinya ( lagi ) hal-hal yang saya sebutkan diatas. Siapa tau kita yang ditakdirkan memperbaiki ini semua. Semoga.


Senin, 08 Desember 2014

Hujan Desember

Masuk musim penghujan adalah waktu dimana segala nuansa akan berarti dramatis, mellow dan jadi momentum. Biasanya, hujan memang membawa hal indah atau semacam perasaan ingin mengingat sesuatu. Efek hujan juga terkadang bikin kita jadi sedikit cengeng. Seperti saya pagi ini : Nangis.

Saya termasuk salah satu tipe manusia yang menurut orang-orang terdekat masuk dalam kategori Complicated. Saya memang mengakui terkadang banyak benak dan pikiran saya yang ribet dan kurang simpel kalau dibandingkan sama....errrrr, suami saya. Tapi namanya manusia, saya kadang gak mau disalahin, saya mau menang sendiri dan saya mau paling bener. Meskipun yah, dengan segala keribetan yang memang bikin mual suami.

Tipikal manusia macam saya ini memiliki stereotipe yang bakalan buruk banget kalo gak bisa di manage dengan baik dan sabar. Saya jelas bakalan terlihat sangat keras kepala, sangat egois dan obsesif. Tapi sebenarnya, andai kalian tau saya itu cuma pekerja keras, yang gak gampang menyerah, mau terus berusaha meski semua orang sudah duduk lemas bilang gak mampu. tapi menurut saya, keras kepala dan obsesif itu terlalu mengerikan untuk menjuluki sifat saya. Mungkin lebih tepetnya saya ini determinasi dan sangat fokus. hahahahaha.

Oke, kembali lagi sama tangisan pagi hari saya ini. Kebetulan, suami berangkat pagi ke kantor dan anak saya mendadak tertidur lagi setelah sarapan tadi. Tumben. Dari balkon rumah saat saya menjemur baju, saya melihat langit gelap dan hawa yang menusuk banget. Dingin dan absurd. Mendadak saya berhenti menggantung-gantung pakaian dan melamun duduk. Saya menikmati kesepian ini. Kesepian yang menurut saya jarang bisa total saya rasakan jika anak bungsu saya terbangun. maka saya menyesapi itu semua.

Usia saya 28 tahun, punya dua anak dan suami yang sangat luar biasa. Untuk ukuran perempuan, saya merasa sungguh cukup untuk terus bersyukur tanpa perlu menuntut hal lebih dari apa yang sudah Allah beri. Saya manusia dan menyadari ketidak sempurnaan saya, saya paham saya memiliki banyak kekurangan seperti suami saya juga memiliki itu. Jika suami saya mampu menerima kekurangan saya, dan berusaha untuk terus menggenapinya, maka saya pun harus adil terhadapnya. Semua kekurangannya adalah bagian yang harus saya olah dengan baik agar tidak menjadi bibit kekecewaan yang meracuni hati saya. DAlam koridor istri, perenungan ini menggenap saat melihat sekeliling rumah dengan segala atribut perabotan yang disediakan suami. Ada kulkas besar yang menampung amunisi sehari-hari, dua kamar lengkap isinya, AC dan cooler untuk masing-masing kamar, Televisi yang besar dan kecil, seperangkat komputer dan mini dapur yang indah. Bagaimana bisa saya masih terus saja tidak merasa cukup?

Memang ada dalam Firman Allah,  “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”. (An Nuur : 26) . Tapi kemudian bisa kita lihat pada kasus Asiyah Istri Firaun yang telah Allah jodohkan dengan Pria Jahat lagi kejam, juga Kasus Nabi Luth yang dianggkat menjadi Nabiullah namun Allah jodohkan dengan Wa'ilah, perempuan yang sangat jahat dan bebal. Tapi kemudian Allah berfirman dalam QS. At-Tahrim ayat 10-11 bahwa : “Allah membuat istri dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir (QS AT Tahrim :10)
  kemudian “ Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata; “ Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi –Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim (QS At-Tahriim : 11)

Nah kita ini siapa? Asiyah bukan, nabi Luth bukan. Jadi kita ini masuk dalam golongan yang disebutkan di QS. An Nur : 26. Maka persiapkanlah diri untuk menjadi baik agar kelak Allah akan jodohkan kita dengan yang bak pula. Dan jika kita ternyata merasa bahwa jodoh kita tidak baik seperti yang kita harapkan, jangan lantas menjadikan diri kita masuk dalam golongan di QS. At Tahrim itu. Sebaiknya kita berkaca, kenapa suami/istri kita tidak baik. Introspeksi apakah kita memang belum baik sehingga dijodohkan dengan yang tidak baik pula. 

Lamunan saya dikagetkan oleh gerimis yang mulai datang, perlahan ingatan saya bergeser pada anak perempuan saya. Yudith Airin Puandira. Gadis kecil pendiam dengan bola mata salju yang terus mengarah pada syurga Allah. Saya mendadak menangis pada moment ini. Beberapa hari yang lalu, salah satu teman saya kehilangan anak bungsunya. Meninggal akibat penyakit bawaan sejak lahir. Setiap melihat status Facebooknya saya berusaha ikut tegar dan tidak menangis. Statusnya sungguh jadi inspirasi tiada habis bagi saya. Dengan kekuatan yang jelas tersisa sedikit, dia mencoba bersikap positif dengan melihat kepergian anaknya sebagai kasih sayang tiada batas dari Allah. Kepergian BabyPram - begitu ia memanggil anaknya - adalah keindahan yang terbungkus keikhlasan dan keridhoan. Applause dan salute untuknya. Saya percaya Allah beri dia cobaan itu sebab hanya dia yang mampu menghadapinya dengan baik. Coba kalau itu di kasih kesaya, wah saya bisa ngegelosor nangis-nangis tuh kehilangan anak.

Masih tentang Airin, dia adalah harta karun saya yang hanya bisa saya jaga dari jauh dengan doa-doa dan keihklasan. Airin adalah sebutan tentang a-gift-from-God-to-test-how-much-i-can-strength.Dialah cobaan maha berat yang saya rasakan, Allah menguatkan Airin untuk melewati ini semua pun demikian dengan saya. KAmi dipisahkan dengan jarak dan waktu yang lama, namun Allah memberikan kemandirian super untuk anak seusia Airin, dan ketegaran lebih pada saya untuk bisa bersabar jauh dari Putri tercinta.

Hujan terus saja memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang dalam bagi saya. Adanya hujan memberikan saya jeda panjang untuk terus bersyukur menerima semua yang sudah Allah tetapkan dalam hidup saya. Apapun yang saya miliki, apapun yang saya hadapi itu semua adalah pemberian terbaik Allah. Inilah yang terbaik untuk saya, berikut cobaan dan kebaikannya.


Minggu, 30 November 2014

Harta Karun ODHA

1 Desember, awal bulan yang kelak akan jadi nostalgia di awal bulan berikutnya karena usungan tahun baru dengan terompet dan kemegahan pesta akhir tahun sudah tercium dari sekarang. Tapi hari ini, saya mendadak seperti sedang berjalan sendirian, melihat kanan kiri dan kesepian. 1 Desember, mengingatkan saya pada banyak sahabat saya di luar sana yang mulai jarang saya sapa, mulai jarang saya usap peluhnya. ODHA ( Orang Dengan HIV AIDS ) , apakabar kalian semua? Saya kangen kalian.

Saya bersyukur hingga detik ini saya masih diberi kesehatan luar biasa oleh Allah, saya masih bisa hidup dengan sangat berkualitas. Tapi saya lebih bersyukur lagi, hari ini saya mengingat sesuatu tentang ODHA. saya mengingatnya sejelas saya melihat sendok didepan mata saya.

Sejak tahun 2005, saya dan Almh sahabat baik saya Inay, menjadi Volunter untuk ODHA. kami ikut begitu banyak kunjungan ke rumah sakit-rumah sakit, berkeliling Indonesia untuk datang dan menjadi penyemangat ODHA, saling bantu dan menerima curhatan ODHA. Tapi dari sekian banyak aktivitas itu, saya menemukan satu mozaik yang hingga kini masih tersimpul kencang dalam ingatan saya. Kenangan itu saya simpan di laci otak saya untuk sesekali bisa saya buka dan ambil kemudian dibaca sewaktu-waktu. Kenangan yang membuat saya lantas bisa berdiri tegar hingga sekarang. Sebagai tanda bersyukurnya saya, ijinkan saya kembali menceritakan penggalan pengalaman itu pada kalian semua :

Tahun 2010, Saya sedang meniti karier kepenulisan dengan menjadi Tim Kreatif di PH milik H. Deddy MIzwar Citra sinema. Pekerjaan dengan ritme tinggi dan tumpukan deadline tak terbatas membuat hari-hari saya penuh dengan kekacauan yang menyenangkan. Saya mulai menjadi nocturnal dan nyaris selalu menulis tanpa jeda yang jelas. Hari-hari adalah waktu yang memadat tanpa libur yang nyata. Saya terjebak dalam kerja stripping dan bentakan Creative director setiap saat. Meskipun saya bahagia, saya mulai perlahan melupakan ODHA. Perlahan sekali.

Inay yang juga sudah bekerja di KOMNAS Perempuan sebagai Konselor lebih beruntung dari saya. Kesehariannya jelas membuat dia sedikit banyak berinteraksi dengan masalah keperempuanan, salah satunya tentang penyakit HIV/AIDS. Suatu hari di bulan november akhir, dia menelpon saya dan mengajak saya untuk ikut dalam program kantornya di Bandung. Programnya di beri nama " Harta Karun ODHA ". Program itu memfasilitasi para penderita HIV/AIDS untuk berkumpul dan berbagi dan kemudian berbahagia bersama demi kesehatan mereka. Saat Inay menelpon dan mengajak saya sebagai pengisi acara, mendadak kepala saya seperti di jitak. Saya tertegun, sejak saya bekerja tanpa istirahat ini, jiwa saya ternyata sudah sedemikian jauhnya dari mereka. Maka saat itu juga saya mengetik surat cuti dan mengajukannya tanpa peduli pelototan Creative director sebab sinetron kami sedang tayang dan butuh dedikasi saya disitu.

Harta Karun ODHA mengikat saya selama 3 hari di bandung. Saya kembali berkumpul dengan para ODHA. Saya kebagian jatah di session curhat sebagai pembaca surat. Di session itu ODHA akan menuliskan surat dan akan kita baca satu persatu untuk kemudian di bahas keesokan harinya. Siang saat session itu berlangsung, saya duduk di samping ODHA muda berusia 16 tahun. Perempuan manisdengan tubuh sangat kurus dan bermata cekung. Dia sudah 3 tahun mengidap HIV/AIDS. Namanya Gina. belum 5 menit, Gina sudah selesai menulis dan mengangsurkannya pada saya. sementara yang lain masih sibuk menunduk menatap kertas dan bolpoint. saya mengeryit heran, saat saya tanya kenapa dia secepat itu menulis surat, apakah dia tidak ingin menyampaikan keluh kesahnya pada saya, Gina hanya tersenyum dan duduk di sebelah saya. katanya " Gina tidak mau mengeluh kak, tadi Gina hanya menulis Alhamdulillah, karna Gina sudah di beri penyakit ini. Dengan begitu Gina tau kira-kira kapan Gina akan mati dan lebih bisa mempersiapkannya. " Saya mengerjap-ngerjap. seorang anak kecil, dengan cobaan hidup yang tidak terperi begitu, bisa menampakkan kedewasaannya dihadapan saya. Kembali saya seperti dibanting keras, ada rasa malu perlahan-halan nongol di hati saya. KOk bisa, saya yang sehat dan diberi kenikmatan ini masih suka marah dan mengeluh atas cobaan ringan yang hanya seujung kuku dari cobaan yang dialami Gina? KOk bisa??

Dikamar hotel malamnya berdua Inay, saya membaca satu persatu surat itu. Sesenggukan saya menangis tidak berhenti setiap kali mengakhiri satu surat dari mereka. Betapa saya mendapatkan pengalaman hidup luar biasa di sini, betapa saya yang ternyata harus berterimakasih pada mereka karna telah menjadi guru yang baik bagi hidup saya. Betapa hebatnya mereka karena bisa dengan baik memompa semangat mereka kembali untuk tetap survive dengan apapun. Saat itu saya teringat larangan ibu saya ketika saya akan berangkat menemani ODHA yang sedang di rawat di RS Sardjito Jogja. ODHA yang akan saya temui ini sudah mengalami isolasi karena kritis dan sudah koma. Ibu saya memerintahkan saya untuk membatalkan tugas itu akrena khawatir saya tertular. Saya juga ingat begitu banyak teman yang menjauhi saya sebab mereka tau sehari-hari saya bergaul dengan ODHA. mereka mengira suatu hari nanti saya akan tertular virus itu. Saya meringis mengingat itu semua, saya nyeri bukan main dengan minimnya empati di sekeliling saya.

Hari terakhir di bandung, panitia mengadakan acara makan bersama. Disitu tak terlihat perbedaan antara Volunter dan ODHA. kami makan dalam satu meja bersama. Memesan menu bersama dan bercanda bersama. Dalam satu sesi, saya bahkan icap icip es teller dan Ice Cream dengan bertukar makanan para ODHA. dan setelah itu pulang. Saya membawa rasa terimakasih yang begitu besar dari mereka.

Keesokan harinya saya sudah kembali ngantor, pekerjaan yang saya tinggalkan selama 3 hari ternyata sudah menunggu saya bak singa kelaparan. MInta segera di kenyangkan. Saya tenggelam dalam lautan editing naskah yang berjumlah ribuan halaman. Sampai saya tidak menyadari, ada sms masuk ke hp saya. Tengah malam, baru saya sempat membuka pesan-pesan yang masuk. Dari sekian banyak pesan yang masuk, saya tertegun pada satu pesan yang berasal dari nomor tak dikenal.

Mbak, terimakasih sudah membangkitkan kepercayaan diri saya. Terimakasih sudah mau memakan ice cream dari sendok yang sama dengan saya. Hani juga menitipkan pesan mengucapkan terimakasih karna mau dan tidak jijik menyeruput Es Jeruk dari sedotan yang sama dengan Hani. Terimakasih telah membuat kami percaya bahwa kami bukan najis yang harus dibedakan "

Saya melongo. Saya bahkan tidak sadar tadi telah melakukan itu semua. Sejak awal di tahun 2005 saat mendaftar jadi Volunter, kami sudah dibekali ilmu tentang penyakit itu. Saya tau, makan satu sendok dengan mereka tidak akan membuat saya tertular. dan saking enjoynya kemarin, saya tidak memperhatikan apa yang saya lakukan ternyata begitu berpengaruh besar terhadap mereka. Sms itu masih saya simpan di hati saya sampai sekarang. Saya sering mengingatnya untuk menyemangati diri sendiri. Tidak ada yang lebih bermakna dari hidup yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Terimakasih ODHA, terimakasih sudah memberi saya begitu banyak pelajaran. Tetap kuat dan semangat.



Kamis, 20 November 2014

Setahun Perjalanan Kami

Pagi ini 21 November 2014, adalah hari dimana saya diwisuda sebagai perempuan. Hari dimana saya baru bisa berani bilang : Ya, saya seorang ibu. Hari dimana anak kedua saya Arior, genap berusia 1 tahun. Selamat ulang tahun nak. Doa mama di nadimu.

Saya adalah ibu dari 2 anak manis dan sangat pintar. Yudith Airin Puandira ( Perempuan, 6 tahun ) dan Muhammad Arior Kaisar Purnama ( Lelaki, 1 tahun ). Airin dan Arior tumbuh dengan gemilang dan baik. Saya bersyukur bisa melewati tahap berat dalam hidup saya. Bersyukur karna akhirnya saya mampu di posisi sekarang dan tersenyum melihat semua hal yang sudah saya lewati di belakang sana.

Airin dan Arior, memiliki perbedaan besar yang kerap kali terus saya takjub dan mensyukurinya. Seperti yang sudah pernah saya tuliskan di 2 postingan saya sebelum ini, bahwa Airin adalah tipikal anak sangat pendiam dengan bakat seni yang tak pernah mampu saya ejawantahkan. Sedangkan Arior adalah lelaki super aktiv dengan kemampuan membaca situasi tinggi. Juga dalam mendidik keduanya, saya jujur lebih puas mendidik Arior.

Airin adalah anak pertama, cucu pertama dan kehebohan pertama dalam keluarga besar saya. Dari mulai proses melahirkan, sampai kelahirannya ( Saya mengalami SC / biasa disebut Operasi Caesar ) Airin mendapatkan pengawalan penuh dari keluarga besar saya dan suami. Saat Airin menangis, bahkan bukan suami saya yang akhirnya pertama kali memegangnya, tapi mertua saya, kemudian orang tua saya baru suami saya. setelah itu bergiliran para bude dan pakde kemudian baru saya. IMD yang saya lakukan terhadap Airin nyaris buyar sebab para orang tua tersebut gagal paham apa itu IMD yang akhirnya merasa kasihan pada Airin dan nyaris mengambilnya dari dekapan saya. Belum lagi setelah itu, dua minggu pertama pasca kelahiran Airin, ibu saya juga mertua perempuan saya nyaris tidak pernah memberikan Airin pada saya kecuali saat menyusu. Semuanya mereka yang melakukan mulai dari memandikan, memijat hingga menidurkan. Saya kemudian hanya berfungsi sebagai ibu susuan yang selalu balik badan sembari ngedumel karna sebal tak mendapat jatah menggendong. Meskipun saya tetap memiliki masa Quality Time berdua Airin setelah dia berusia 1 tahun keatas, tapi waktu yang hanya sedikit itupun masih terus direcoki sana sini. Saya sebal dan meradang. Saya butuh waktu berdua anak saya dan memandirikan diri.

Pengalaman hamil kedua, saya kabur dari rumah Ibu dan mertua saya. Berdua suami kami mencari rumah yang jauh dari keduanya. Pengalaman anak pertama membuat saya belajar bahwa saya harus benar-benar tegas jika ingin seutuhnya jadi ibu. Bulan pertama hingga akhir kehamilan saya lewati hanya berdua suami. Saya melakukan aktivitas padat dan sehat dengan sangat mandiri. Betapa saya merasakan kenikmatan saat muntah-muntah di pagi hari dan hanya suami saja yang memijat tengkuk tanpa perlu mendengarkan opsi sana sini dari para orang tua. Betapa lega tubuh saya berjalan dan beraktivitas tanpa perlu di ganduli gunting, silet dan peniti karna ketakutan leluhur pada kuntilanak yang mengincar janin di dalam perut saya. Betapa bahagianya saya bisa pulang jam 2 pagi bersama suami karna masih beraktivitas padat tanpa perlu omelan sebab kandungan saya nantinya kena sawan ini itu dari mahluk-mahluk astral. Masa kehamilan kedua saya, dilewati dengan kemandirian super tinggi. Saya puas akan itu.

sehari sebelum kelahiran Arior, saya dan suami masih mengunjungi daerah Senopati untuk belajar cara pijat bayi oleh pakar urat bayi dan dokter spesialist anak. Hari itu memang terasa jauh lebih melelahkan di bandingkan perjalanan di hari lain. Perut terus kencang selama dalam kemacetan di Piere Tendean kemang. Sampai rumah saya di Menteng, perut semakin terasa mulas. Malam hari sebelum tidur, saya dan suami membereskan baju-baju Arior dan merapihkannya di Lemari. Tepat pukul 12 malam, saya tertidur untuk kemdian terbangun 3 jam kemudian karna pecah ketuban. Berdua suami, kami datangi RSCM dan melakukan persiapan Operasi. Tanpa memberitau siapapun. Hanya berdua saja. Saya mempersiapkan mental sendiri, berdoa sendiri, sementara suami mengurus administrasi dan kelengkapan operasi bersama para dokter yang juga sendirian. Saat itu saya yakin, inilah ujian terberat saya yang kelak akan mematangkan saya menjadi seorang ibu sepenuhnya.

Setelah Arior lahir, barulah suami memberi kabar kesana sini, dan saya saat itu sudah memegang Arior untuk memberikan Asi pertama sembari tersenyum puas. Inilah anak saya, anak yang langsung menemukan kulit saya untuk dia dekap. HIngga 3 hari setelah melahirkan dan kami pulang sendiri ke rumah, saya pun mendapati pengalaman pertama memandikan bayi semerah itu. Saya terharu saat berdua suami harus membersihkan tali pusat yang belum lepas, saya geli sendiri saat tengah malam Arior menangis karna mengompol. Dan setelah seminggu pasca melarikan, saya dinobatkan sebagai ibu tunggal sebab suami saya mulai bekerja dan saya hanya berdua Arior tanpa dibantu siapapun. Tanpa siapapun.

Dengan luka jahitan yang masih basah saya mengurus Arior dengan kemampuan yang saya miliki. Saya memijit dia sendiri, saya bernyanyi sendiri, saya menyusui sendiri. Semuanya sendiri. Arior adalah anak saya, yang saya urus sejak bayi tanpa bantuan siapapun. Tanpa siapapun.

Kepuasan mengurus anak itulah yang menjadikan Airin dan Arior berbeda. Airin bagai hadiah untuk keluarga besar kami, dia dimanjakan sana sini meski saya melihat Airin tak menyukai itu semua. Sedangkan Arior, adalah hadiah untuk sikap teguh saya memegang prinsip kemandirian, dia adalah diksar saya dalam mentasbihkan diri sebagai ibu.

Pagi ini, saya menatap Arior yang masih pulas tertidur sebab kemarin baru saja kami ajak mengunjungi Festival Budaya Anak Bangsa. Saya melihat Arior tumbuh sempurna dengan bahagia. Setahun ini, saya telah melewatinya dengan luar biasa. Pengalaman berharga yang tidak pernah bisa saya ganti dengan apapun. Kelak, kita akan melewatinya dengan terus bersama nak. Kita akan terus bersama. Selamat Ulang tahun. Barakallah.

Minggu, 09 November 2014

Arior di IDF

Di jakarta langit berwarna orange terbakar begini sulit sekali didapat, harusnya saya keluar dari balkon rumah saya kemudian menatap lekat-lekat keatas. Saat ini langit sedang indah-indahnya. Tapi saya terpaksa urung, masuk kedalam dan membuka komputer. Saya ingin bercerita.

Hari sabtu kemarin, saya dapat undangan menghadiri acara IDF ( Indonesia Dance Festival ). Kebetulan saya kenal beberapa teman didalamnya dan cukup dekat dengan salah satu panitianya. Dari sekian padat acara IDF sejak tanggal 4-8 November kemarin, saya hanya tertarik pada acara yang terakhir yaitu IDF untuk ibu dan anak " Menumbuhkan minat dan bakat anak " . Acaranya berlangsung jam 4 sore di Salihara pasar minggu.

Arior, yang memang sangat menyukai berkumpul denganbanyak orang tentu saja kegirangan saya bawa masuk kedalam ruangan pementasan. Ada sekitar 10 pasang ibu dan anak yang mempersembahkan pertunjukan tari kontemporer dengan tema kehidupan sehari-hari. Menarik dan sangat pas ditonton untuk ibu dan anak. Tentu saja memang pertunjukan kali ini sudah di setting untuk hal tersebut. Tapi kali ini, saya tidak ingin membahas tentang isi dari pertunjukkannya. Tapi saya akan membahas tentang Arior, my partner in crime.

Saya memperhatikan, Arior adalah anak yang sangat maskulin. Dia akan sangat terlihat elegan didepan banyak orang. Arior bisa menatap tajam satu-persatu orang yang baru ditemuinya tanpa rasa takut sedikitpun. Matanya yang coklat bulat membola besar itu menjadi sedemikian berkarakter jika sudah begitu. Saya yakin, andai matanya adalah sungai, Arior entah sudah menenggalamkan berapa banyak orang melului tatapannya saja.

Arior aktif, bahkan sangat aktif. Tapi berbeda dengan anak aktif lainnya, Arior mampu melihat situasi. Saat sedang duduk dihadapan banyak orang, dia akan dengan sangat tenang berwibawa. duduk santai dan damai, tidak membuat saya kewalahan dengan mengejarnya kesana kemari. Seperti saat pertunjukkan dimulai, Arior duduk santai sendiri tanpa saya pangku di matras paling depan panggung pertunjukkan. Mata tajamnya tidak berpindah sedikitpun dari para penari dedepannya. sikapnyatenang sempurna membuat saya geli dan ingin memeluknya. Arior memang sangat paham bagaimana harus bersikap sesuai tempatnya. Saya bangga akan itu.

Setelah pertunjukkan selesai dan sesi diskusi dimulai, sifat aktifnya mulai muncul. Arior mulai berjalan mendekati beberapa orang disekitarnya yang bahkan tidak dia kenal, mengajaknya ngobrol dengan bahasa absurdnya dan bersalaman. Nyaris semua penonton di ruangan itu terbahak dengan sikapnya. Termasuk saya dan papahnya. Bahkan saat ada ibu Retno, sang maestro tari masuk dan menyampaikan salam, Arior adalah orang pertama yang dengan lantang menjawab salamnya sembari melambaikan tangan. Dia membuat terbahak  ( sekali lagi ) penonton yang ada di ruangan itu. ayangnya, saya tidak bisa mengambil gambar karena acara ada didalam ruang teater dengan pencahayaan sangat minim.

Dalam dunia anak, biasanya anak aktif adalah anak aktif. Dia tidak akan mau tau sedang ada acara apa dan dimana. Dia tidak akan peduli apakah itu membuat repot ibunya atau tidak. Tapi arior berbeda, saat dia ada dirumah, di taman bermain, di wahana bermain, Arior sangat tidak bisa dipegang. Tenaganya seperti 1000 gajah dan lincahnya melebihi kupu-kupu. Seringkali karena ulahnya sendiri dia terjatuh dan tanpa menangis kemudian bersemangat untuk bangun lagi. Tapi jika sedang dalam acara yang melibatkan banyak orang, Arior akan sangat tenang. Sangat damai. Meskipun sejujurnya saya tidak akan marah jika dia membuat ulah seperti biasanya, lari-lari, lompat sana sini, jungkir balik di mana-mana, ngotorin baju tanpa perlu lihat tempat, atau berteriak dan merebut microphone di depan manggung. Saya percaya, andaikata dia melakukan itu-pun saya akan meledeninya untuk mengejar, menjaga dan melindunginya. Semuanya akan terasa wajar karena dia memang anak kecil yang sangat aktif. Tapi syukurlah, Arior tidak melakukan itu. Anak baik dan sangat sopan ini selalu membuat saya bangga dengan sikap dan pengertian yang luar biasa. Dengan Arior bersikap kooperatif, maka saya akhirnya mampu menikmati acara diskusi dengan baik, saya bisa menyerap ilmu-ilmu dengan sempurna, dan semoga saya bisa mengaplikasikannya dirumah.

Begitulah Arior, pria kecil dengan sikap yang sungguh menakjubkan. Saya mencintai kedua anak saya sama besar. Tanpa perlu terbagi-bagi. Keduanya sungguh menakjubkan.

oiya, untuk sekedar info, ada perkumpulan ( komunitas ) mamaku penari yang di prakarsai oleh beberapa teman Jebolan Seni Tari IKJ. Dimana komunitas itu ditujukan untuk para penari( mantan Penari ) yang sudah menjadi ibu, atau para ibu yang suka menari, untuk terus mengembangkan hobynya bersama putra putrinya. Infonya ada pada saya dan kalian bisa kontak saya untuk kemudian saya sambungkan langsung pada sekretariat komunitas itu. Serius, mereka sungguh keren dan sangan peduli pada perkembangan anak. Melalui komunitas ini, kalian para ibu tetap bisa fokus dengan perkembangan anak kalian, tapi juga enjoy dengan hidup kalian. Lets Try mom !!

Kamis, 06 November 2014

Please welcome : Airin dan Arior,

Airin Keren, Arior Hebat. Saya punya dua anak yang selalu dan terus bisa di banggakan.

Tahun 2008 Airin lahir. Cantik sekali. Rambutnya hitam legam tebal dan kulitnya putih bersinar. Warna yang kontras itu membuat wajah ayunya makin kentara dan dua mata bulat beningnya jelas terlihat. Dia langsung jadi kebanggaan keluarga. Yudith Airin Puandira.

Mba Ai - beitu kami lantas membiasakan diri memanggilnya- tumbuh menjadi anak yang super penurut. Dia tidak pernah memprotes apapun. Masa kecilnya ia lewati dengan menggambar dan menggambar. Sesekali ia keluar main bersama teman, sesekali ia rewel minta jajan, sesekali ia merengek pada saya. Tapi itu hanya sesekali dan tak pernah bertahan lama. Ia lantas sangat tekun belajar, membantu saya dirumah dan semua hal magic bagi anak kecil lainnya lakukan. Hal itu menambah rasa cinta saya makin besar padanya. Saat ini, ia ada di Jawa tengah, tinggal bersama ibu saya dan menemani beliau sebagai putri yang sangat manis dan pintar. Saya selalu merindukannya, bahkan ketika tertidur sekalipun. Kerinduan itu, lantas menjadi obat untuk setiap sakit dan luka yang ada kemudian.

November 2013, Adiknya lahir. Pria ganteng dengan raut wajah macho dan cerdas. matanya bulat tajam dengan warna kecoklatan di tengah membola. Kulit putih bersih dengan rambut halus membuat dia menjadi sumber energi saya kemudian. Muhammad Arior Kaisar Purnama. Nama itu kelak akan menjadi legenda di dunia ini.

Mas Rior - kami kemudian membiasakan memanggilnya begitu- adalah anak yang super duper aktif. Dia seperti tak punya lelah. Kebalikan dari mba Ai yang super penurut, Mas rior adalah gambaran pemberontak cerdas dengan keberanian bak hercules. Saya terus saja dibuat kewalahan dengan kelakuannya setiap hari, bagai singa yang memimpin, Mas Rior sadar dia bisa jadi pucuk pimpinan sejak kecil. Dia ingin yang terbaik dalam hidupnya, dia tidak suka dibelikan makanan bubur pinggir jalan, dia hanya mau gandum tim keju buatan saya sendiri. Itu salah satu contoh kelakuan hebatnya.

Dua mba dan mas saya ini, selalu membuat saya tak pernah henti bersyukur. Jika mba Ai rela saya tinggal kemana pergi, mas Rior akan selalu ada di depan saya untuk melindungi saya. Mba Ai akan terus menyemangati saya dari belakang, mas Rior yang akan menarik saya untuk berlari kencang. Mba Ai begitu mencintai seni yang merupakan satu bagian dari hidup saya, mas Rior sangat menyukai diskusi yang juga satu bagian dari diri saya. Rasanya, dari dua anak ini kehidupan saya menggenap. Lengkap dan sempurna.

Ketika saya harus bekerja di jakarta, mba Ai merelakan diri terpisah dari saya dan terus membuat saya bersemangat dalam bekerja. Hari-harinya yang tanpa saya diisi dengan kemandirian dan kerelaan yang dalam. Untuk anak sekecil itu, sikap dan sifatnya ini kadang membuat saya nelangsa sekaligus bangga. Saya yang sudah setua ini, merasa tak malu untuk mengakui bahwa tingkat keihklasan saya tertinggal jauh di belakang mba Ai. sangat jauh.

Mas Rior lain lagi, dia adalah anak yang sangat memahami kondisi. Dia selalu saya bawa kemanapun saya pergi. Sejak lahir hingga kini, saya dan dia belum pernah terpisah. Dengan kenyataan tersebut, mas Rior membuat nyaman diri sendiri dengan memahami kondisi perjalanan. Saat temu sastra Asia tenggara kemarin, kami membawa Mas Rior, dengan jadwal kegiatan yang tak berhenti dari pagi hingga tengah malam, Mas Rior kuat dan membuat acara itu rumahnya sendiri. Dia bermain dengan peserta lain yang seumuran saya bahkan jauh lebih tua dari saya. Jika ada kesempatan istirahat dia akan tidur dengan nyaman meski itu harus di bus atau di hall acara. Ada lahan bermain dia gunakan dengan bahagia, ada makanan yang dia bisa konsumsi mas rior akan makan dengan sopan. Kemudian, bukan saya atau ayahnya yang lantas jadi bintang di acara itu, tapi justru dialah super star itu.

Saya merasa inilah kehidupan saya yang luar biasa. Mba Ai dan Mas Rior akan jadi kombinasi yang dahsyat di masa depan. Mba Ai dengan sikap tenangnya dan mas Rior dengan keperkasaannya. Mba Ai adalah perempuan yang sangat lembut penurut, Mas Rior adalah lelaki tangguh pejuang. Fabiayyi Allaa Irobbikuma tukadziban. Maka Nikmat Tuhan mana lagi yang akan aku dustakan.

Senin, 03 November 2014

Dunia Politik Dunia Bintang.

" Dunia politik dunia bintang, dunia pesta pora para binatang. " 
Iwan Fals. 


Lirik lagu diatas rasanya cocok untuk menggambarkan kondisi politik negara kita saat ini. Porak poranda, pesta pora. Belum usai. Dan terus terulang, rakyat yang jadi korbannya. Hanya saja kali ini, Rakyat mulai ikut ambil bagian sebagai pelaku kerusakan. Tentunya dibantu oleh sistem luar bisa bernama media sosial. Aplaus meriah untuk Zukerberg, Dorsey, Morin, Systrom dan Krieger, juga beberapa nama-nama lain sebagai penemu banyaknya jejaring sosial akhir-akhir ini. Dan indonesia, semelek apapun masyarakatnya terhadap internet masih saja tetap gagap akan keadaan ini.
Saya bukan siapa-siapa, bukan pengamat politik yang pandai membaca manuver demi manuver panggung politik, juga bukan ahli tata negara yang terus mencoba mengamati bagaimana pemimpin negeri ini mengatur dan membenahi negaranya. Saya cuma seorang ibu rumah tangga, dengan 2 orang anak. Dan saya penulis. Jadi inilah yang bisa saya lakukan.

Sejujurnya, sejak dahulu saya benci politik. Terutama politik Indonesia. Entah dengan negara lain, tapi saya merasa politik di Indonesia tidak hanya kacau dan busuk melainkan sudah masuk dalam ranah menjijikkan. Tapi kemudian Inay ( almh Sahabat terbaik saya ) mengingatkan, dalam hidup kita harus selalu menggunakan politik. apapun ada politiknya, berteman, tidur, makan, bahkan -maaf- buang air pun ada politiknya. Makan misalnya, kita harus menggunakan politik agar nasi yang kita ambil bisa habis bersamaan dengan lauk yang ada di piring kita. Sehingga kita tidak perlu mengambil kekurangan nasi/ lauk ditengah proses makan itu. Hal sekecil ini, akhirnya mampu menyadarkan saya. Mau tak mau, suka tak suka, hidup kita sudah terjebak dalam suatu  medan perang bernama politik. Maka selayaknya dinikmati saja. 

Saya saat ini bersuai 28 tahun, usia yang sangat belia untuk sok tau tentang politik. Saya pasti diketawain banyak orang setelah memposting ini. Tapi saya gak peduli, sejak awal blog ini kan memang saya tujukan sebagai tempat sampah hati saya. Membuang sebal dan kekacauan pikiran. Saya selalu  merasa lega jika sudah menulis disini. 

Indonesia mengalami perang besar dengan bangsanya sendiri. Perang egosentrisme, dimana semua orang merasa berhak untuk mengatakan tentang haknya tanpa mempedulikan hak orang lain. Dan jika ada yang tidak sejalan dengan pemikirannya : Tendang! Indonesia, terutama masyarakatnya lupa untuk kembali ke diri awal negara besar ini yaitu Bhineka Tunggal Ika. Sejak dahulu, awal terbentuk negara ini memang keberagaman, perbedaan dan persatuan. Kita terdiri dari jutaan pulau yang tersebar dan di pisahkan lautan maha luas, kita terbentuk dari miliaran suku dan etnis juga adat yang jelas berbeda satu sama lain. Lalu, sekarang kemudian kita terpecah membelah hanya karena 2 perbedaan : Koalisi Merah-putih dan koalisi Indonesia hebat. Ada apa ini?!

Semua masyarakat, dari mulai sahabat saya, teman dekat, kenalan, om, tante, kakak-adik, ayah-ibu, semuanya berperang dengan saudara yang berbeda paham. berbeda pilihan. Ada kalimat yang bikin saya jengkel setengah matai : " Kita begini, karna pemerintahnya lebih-lebih. Pemerintahnya menstimulus kita untuk saling membenci. Masing-masing koalisi mengirimkan manuvernya dan membuat pendukungnya saling membenci satu-sama lain. "

Helloooo, ingat saya dulu pernah bilang Bahwa : Objektifitas adalah Subjektifitas+subjektifitas. Semua pendapat objektif itu hanyalah kumpulan kesepakatan bersama dapi pendapat subjektif beberapa orang yang merasa sepaham. Mau contoh konkritnya ? yuukk saya kasih tau :
Gelas misalnya. Siapa yang sepakat bahwa tempat minum kita yang berbentuk cekung dan memanjang keatas itu bernama gelas? apa itu muncul dengan sendirinya? Jelas tidak. Kesepakatan penyebutan tempat minum hingga di sebut Gelas melalui proses pengumpulan pendapat satu-satu manusia. Yang biasa kita sebut dengan pendapat subjektif. Kemudian ketika pendapat-pendapat subjektif itu mulai terkumpul dan tersepakati, maka jadilah pendapat objektif yang mengatakan bahwa benda tersebut bernama gelas.

Apa urusannya dengan politik kita? Ya itu tadi, bahwa kita ikut ambil bagian dari perpecahan ini. Bahwa sebab kita mau saja di pecah belah dan ikut pendapat subjektif dari satu-satu orang di masing-masing koalisi akhirnya membuat pendapat mereka absah dan di sepakati bersama. kemudian perpecahan itu muncul, lantas kita lari dari tanggung jawab dengan melemparkan sebab itu pada orang diatas kita. Sama hal nya dengan korupsi. Kita di bawah teriak-teriak korupsi ini itu, tapi kita sendiri secara gak sadar melakukan hal yang sama. Kita ketilang dan lebih milih bayar ditempat, kita urus BPJS aja lebiih milih nitip ke orang, kita urus sekolah anak kita aja malas menunggu lama dan memilih membayar lebih demi cepat selesai. Apa itu namanya? selain kita mendukung adanya tindak korupsi, kita juga sebenarnya telah melakukan hal yang sama. Podo wae sami mawon.Kasus hukum pun begitu, Maskapai yang tidak representatif diteriaki suruh ditutup, tapi kita tetep aja make jasanya ketika butuh armada untuk transportasi. Kita sebal karena salah satu provider sinyalnya jelek, tapi tetep aja bertahan menggunakannya. Ya mau bagaimana itu semua bisa tuntas kalau kita mendukung kok keburukan itu.

Kita itu harusnya kompak, saling mendukung dan saling menerima. Koalisi merah putih harus menerima dan mendukung Presiden Joko Widodo dalam pemerintahan 5 tahun kedepan. Pun begitu sebaliknya dengan Koalisi Indonesia Hebat, ayolah untuk menerima dan mendukung pimpinan kabinet di parlemen. Dan kita sebagai masyarakat dibawah mereka, gak perlu sok tau dengan menelaah ini itu yang justru lantas ikut dalam kancah perseteruan. Bikin panas suasana. Ini era dunia cyber, tapi belum tentu kita menguasai cyber. Jadi inget kasus Ahmad dhani tentang sumpahnya -maaf- Memotong kelamin jika orang yang didukungnya kalah. Ngeri banget lihat para pendukung dari halaman seberang meminta sumpah itu terlaksana. PAdahal, mereka itu gak menguasai twitter, medsos dimana sumpah itu keluar melalui akun milik Dhani. Saya aja yah yang bukan IT, ngerti kalo itu cuma photoshop. Cuma editan. Tapi saat itu percuma ngasih tau mereka, mengingatkan bahwa mereka sudah jahat memfitnah orang. terlepas dari sejujurnya saya secara pribadi kurang sreg dengan Dhani sendiri. Juga tentang abang tukang sate itu. Para pendukung Prabowo lantas ambil bangian dengan mencaci maki penangkapannya, padahal si tukang sate itu memang salah kook. Dia jahat loh dengan mengedit foto begitu. meski kita semua tau itu gak benar, tapi tetap saja itu hal jahat. Pak presiden harusnya kita hormati, kita lindungi dan kita dukung supaya hidup kita sejahtera. Bukan dengan terus mencari kesalahannya meski kita gak memilih dia saat pemilu kemarin. Mana ada sih manusia yang sempurna. Rasulullah saja beberapa kali di tegur Allah karena kesalahannya kok.

Belajarlah jadi manusia yang bijaksanasini, bisa menyaring semua informasi dan memfilternya untuk mengambil yang baik saja. Belajarlah untuk tepo seliro dan gak ikutan ngomporin suasana makin panas. Toh kita gak ada untungnya dengan begitu. Gak akan bikin hidup kita sejahtera. Terima apa yang ada dan berbahagialah dengan itu semua. disitu letak kesejahteraan yang sesungguhnya.

-Love-

Ami. 




Jumat, 12 September 2014

Kehidupan-Ku.

Suamiku,
Jika kau purnama utuh maka sungguh begitulah kau adanya. Bulat terang sempurna. Laksana bola api yang membakar langit. Kau meneduhkan sekaligus menyilaukan. Dalam balutan asmara aku mengagumimu serupa gadis penjual bunga menyanjung dagangannya. Kaulah matahari malam di labirin firdausku. Aku menemukanmu, saat jalan terjal dan panjang merobek aus roda kemudi hidupku. Bagai sang Khrisna, senyummu abadi merusak kokohnya naluri perkasaku. Biarkan aku lelah di dalam lautan tasbihmu. Engkaulah itu, purnama di tiap malamku.

Airinku,
Adalah matamu yang putih serupa salju. Putri sulung kerajaan purnama yang berbudi lembut lagi halus. Sebarkan wangimu dan harumkan noktah ini. Ketenangan sempurna yang membaluri tubuhmu lebih mahal dari hidupku sendiri. Dalam keikhlasanmu, cinta tak bisa berkata-kata. Lautan takut kau kalahkan, dan samudra bertekuk dalam belaimu. maka biarkanlah Nak, aku kalah dan haus nasehatmu. Engkaulah itu, keseimbangan yang menggelayuti hidupku.

Ariorku,
Satria piningit dalam kalbuku. Bagai jalasutera, kau menyebarkan jaring cinta yang tak kasat mata, tak henti-henti. Menyentuhmu adalah jebakan akan cinta itu sendiri. Jutaan waktu mencoba menggadaikan kemilau kuasanya, kau cukup diam dan menyanjung diri. Bagai oase tak berkesudahan, naluri puncak tertinggi kau genggam sejak lahir. Dalam maghligai nestapa, kaulah sang penyelamatku. Yang terus saja meracuniku dengan rasa haru bak amazon membelah hutan perkasa. Engkaulah nak, yang kelak akan melindungi kami semua.

Halilintarku,
Menunggumu lahir bagai impian yang siap menjadi nyata. kelopak hidup kami sebarkan dengan doa dan harapan. Dan apakah harapan itu? adalah engkau yang memupuk kesadaran bahwa hidup akan terus berisi impian. Kini waktu bagai buih yang mengejarku, menuntutku untuk segera kembali melahirkan manusia cemerlang sepertimu. kelak nak, biarkan keberanian yang akan membuatmu terus bersinar. Engkaulah itu, yang nantinya akan memagari kami dengan kobaran api tak tertembus. Hidup adalah nadi di tanganmu.


Minggu, 03 Agustus 2014

Anak-anakku.

Saat ini sudah tengah malam. Dua orang pria purnama mengelilingi saya dengan dengkur lelapnya. Saya masih tetap gagal memejam. Karna itu, saya ada disini sekarang. Assalamualaikum.

Postingan pertama saya kemarin setelah mengalami libur panjang medapat respon bermacam. Saya yang sempat menutup semua akun sosial media karna ingin fokus menjdi istri dan ibu merasakan kehausan pengikut blog ini kemarin. Facebook lama saya memang sudah tidak pernah saya buka lavi, otomatis pesan dari mereka yang menanyakan kapan saya membuat postingan lagi tidak terbaca. Saya menyesal untuk itu.

Kali ini, izinkan saya menulis tanpa konsep. Sebut saja ini adalah postingan acak adut. Postingan tentang banyak kegelisahan yang belum sempat saya tuliskan disini. Tentang banyak hal yang saya alami, atau sekedar saya lihat, atau juga merupakan pengalaman dari orang disekitar saya, yang memang belum sempat saya uraikan disini. Sebegitu banyaknya, sampai saya yakin postingan kali ini akan menjadi tak berkonsep. Izinkan saya memuntahkan segalanya disini sekarang. Dan saya mohon, jangan tutup dulu laman ini sebelum kalian membacanya hingga selesai. Meskipun kita tidak saling mengenal, paling tidak saya tau, ada orang lain diluar sana yang sedang mendengarkan keluhan saya. Selamat menjadi ' pendengar' di postingan kali ini.

Sering kali, saya menguraikan tentang kesenjangan hubungan antara anak dan orang tua. Kali ini, sekali lagi saya ingin mengulasnya lebih jelas. Anak adalah amanah dari Tuhan. Begitu banyak perempuan yang ingin mengandung, tapi belum juga diberi karunia itu. Padahal mungkin dia sudah cukup mampu. Sudah kaya, sudah matang usia, sudah memiliki suami, sudah mengerti psikologis mendidik anak, sudah siap segalanya. Tapi, Tuhan belum juga memberinya anak. Kenapa? banyak alasannya. Yang jelas, Tuhan pasti lebih tau dari kita. Tapi, ada satu kemungkinan yang bisa saya jadikan sample, adalah kemungkinan bahwa yang bersangkutan belum siap ketika membesarkannya kelak. Bukan secara ekonomi, tapi secara bathin.

Jauh hari sebelum ini, di blog ini, di facebook, di twitter, di kontak bbm, saya sering menerima PM, DM dan sejenisnya dari banyak orang. Terutama remaja tanggung. Ada saja yang mereka keluhkan. Tapi lebih mayoritas mereka mengeluhkan: yang orang tuanya tidak bisa menjadi pendengar yang baik, yang orang tuanya gak asik, yang orang tuanya gak memahami dia, yang orang tuanya menyebalkan, yang ini-itu dan segala macam hal negatif tentang orang tua mereka. Saya selalu gagal memahami, kenapa mereka yang jelas bukan anak saya, bahkan kenal pun tidak - malah banyak yang belum pernah bertatap muka- jadi lebih percaya pada saya, orang yang hanya mereka lihat dari tulisannya. Mereka lebih menikmati curhat dengan saya ketimbang dengan ibu kandung mereka, lebiih nyaman untuk bicara jujur pada saya ketimbang ayahnya. Padahal saya ini siapa? kami tidak saling kenal. Sejak itu, saya yakin, ada yang salah pada pola asuh orang tua kita terhadap anaknya. Kenapa saya yakin? Karena saya mengalami hal yang sama.

Entah mengapa, sejak dahulu, saya termasuk anak yang introvert terhadap orang tua saya. Saya lebih baik diam jika memiliki masalah, menangis sendiri di kamar, atau paling banter saya nulis. Saya juga lebih memilih tak bercerita terhadap orang tua saya, malah, saya cenderung lebih memilih berbohong pada mereka jika memiliki masalah. entah mengapa, rasanya saya sungkan. Aneh, padahal saya ada di perut ibu saya lebih dari 9 bulan, saya numpang bernafas, numpang makan, bergerak, dan keluar dari sana dengan pertaruhan nyawa ibu saya. Lalu kenapa saya harus sungkan? Jawabannya ada di sistem mendidik dan mengasuh.

Anakmu bukanlah milikmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya.
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.
Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu.
Sebab mereka punya alam pikiran sendiri.
Berikan tempat pada raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan tidak di dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun tidak membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak berjalan mundur. Juga tidak tenggelam di masa silam.
( Kahlil Gibran * Anak-Anakmu )
Itu puisi Gibran yang paling saya suka. Sejak membaca puisi itu tahun 96 ( saat itu saya masih SMP ) saya langsung bermimpi memiliki kehidupan seperti itu. Impian itu, yang menjadikan ekspektasi saya terhadap keluarga keluar jauh dari yang ditanamkan orang tua saya. Kemudian setelah itu, saya berubah menjadi alien. Saya menjadi anak yang sangat berbeda dengan anak lain. Saya jadi pembangkang, saya selalu merasa apa yang orang tua saya putuskan untuk saya tak pernah benar, saya selalu jadi jiwa yang pengecut. Selalu menyalahkan orang tua saya atas apa yang terjadi pada diri saya. Banyak hal yang saya alami, tentunya tidak mungkin saya ceritakan disini, tapi sejak itu, hingga kemarin sekitar setahun lalu, saya menjadi seorang anak yang selalu mencari. Selalu merasa tidak bahagia. Hingga setahun lalu, saya menemukan apa yang saya cari. Kehidupan saya akhirnya menggenap. Kemudian saya merasa yakin, kali ini saya tak perlu lagi menyalahkan siapapun. 
Apapun yang saya alami, tidak perlu kalian jadikan patokan meski memang kalian tidak mengetahui hal tersebut. Tapi yang ingin saya sampaikan disini bahwa, berilah diri kalian sendiri jiwa untuk mengasuh anak kalian. Jadikah diri kalian sendiri ketika berbicara dengan anak kalian. Selama ini, saya selalu mengenal ibu saya sebagai perempuan yang melahirkan saya, perempuan yang mengasuh saya, perempuan yang membesarkan saya. Hanya itu saya. Tapi saya tidak mengenal ibu saya sebagai manusia seutuhnya. Sebagai seorang Zubaida Widhiana. Begitupun mama saya, dia mengenal saya sebagai anak yang dia lahirkan dari rahimnya, sebagai anak yang dia besarkan, sebagai si upik yang harus terus dipantau, mama saya lupa untuk mengenal saya sebagai manusia. Sebagai Rahmi Isriana saja. Sebutan mama dan anak, memang terasa agung, namun sebenarnya itu melenakan. Memberikan saya dan mama saya batasan, sehingga ketika saya ingin menyampaikan sesutau, sebutan itu terasa sebagai tembok tinggi yang memagari saya dan mama. Saya merasa harus menata kalimat saya supaya tidak menyinggung perasa mama, supa tidak disebut durhaka, supaya tidak begini-begitu. akhirnya, apa yang akan saya sampaikan jadi mentah. Tidak keluar. Gagal. 

Ada pula seorang ibu yang kelewat sayang pada anaknya hingga tanpa sadar menjerumuskan anaknya dalam lingkaran durhaka. Melayani anaknya sampai si anak tidak memiliki celah untuk belajar madiri. Ibu akan kesulitan dan kerepotan, anak pun tidak akan pernah mampu untuk keluar dari dunia kanak-kanaknya. Tidak ada yang diuntungkan dari pola asuh memanjakan seperti ini. Saya bukan tuhan, tapi di dunia belahan manapun saya menemui tidak ada seorang anak yang berhasil dan sukses di hari tuanya jika pola asuhnya dimanjajan. Makan dilayani, tidak bisa bangun jika tidak dibangunkan, mengambil minum harus diladeni, pakaian disiapkan . Dan segala propagansa pengasuhan yang bersembunyi di balik tabir bernama kasih sayang yang sesungguhnya justru tidak menyayangi anaknya. Bisa dibayangkan, jika suatu hari Ibu dipanggil lebih dahulu oleh Tuhan, bagaimana nasib anak manja yang bahkan tidak tau dimana tempat gelas disimpan dirumahnya sebab selalu diambilkan jika butuh gelas. 

Saya 
bukan anak yang hebat, juga bukan orang tua yang luar biasa. Tapi saya berusaha menjadikan anak-anak saya kelak mampu berdiri diatas dirinya sendiri. Dan itu semua harus dimulai sejak dini. Dari mulai hal terkecil seperti mengambil nasi sendiri hingga hal kompleks seperti transformasi status tersebut. Dan apakah saya siap untuk itu? Apakah kalian siap? Harus siap!! Pertunjukan akan erus berjalan dengan atau tanpa kalian didalamnya. 

Love ; me


Sabtu, 02 Agustus 2014

Perempuan dan surga.

Assalamulaikum. Haloooooo... lama sekali ya saya gak menulis disini. Dari terakhir posting itu sekitar setahun lalu. Setelah itu saya libur panjang. Berhenti menulis blog, cerpen,essai, dan skenario. Saya fokus di rumah. Menjali tugas langsung dari Allah, pekerjaan yang gajinya tidak ternilai. Untuk itu saya rela melepaskan apapun. Proyek akhirat saya: menjadi ibu rumah tangga mutlak.

Banyak yang menyayangkan keputusan saya ini. kenapa saya mundur dari kantor saat karier tengah melonjak tinggi, saat nilai tulisan saya dicari banyak pihak. Saya sampai di tegur keras oleh pak Bustal Nawawi ( produser senior yang sudah memproduksi lebih dari 100 film layar lebar, datanya ada di google. Silahkan cari sendiri ) karna hutang skenario saya padanya tak kunjung tergarap. Tapi pesona yang di tawarkan oleh mas riyan untuk hadiah ketaatan saya tidak mampu saya tolak. Bagaimanapun, saya rindu pada nuansa kepatuhan itu. Jadi serentak saya lepaskan dunia yang mengitari saya. Silahkan keluar dan menunggu di depan. Saatnya saya mengurus rumah.

Satu hal yang saya dapat setelah menikah adalah Allah menurunkan hidayah untuk makin Istiqomah di jalan-Nya. Saya merasakan betul itu. Sejak dahulu saya memang sudah tertarik mempelajari agama lebih dalam. Bagi saya ilmu dan mempelajarinya adalah esensi hidup itu sendiri. Saya memang tergila-gila membaca. Saya ingat dahulu mama saya sering protea karena uang jatah bulanan untuk membeli baju selalu saya selewengkan alokasinya untuk membeli buku. Alhasil baju saya kucel semua. Saya selalu haus membaca. Dan hobi itu mendadak tersalurkan melalui Al-Quran. Tahun 2010 adalah titik balik saya dalam memulai dunia kedua. Segalanya berawal dari situ : Al-Quran.

Al-Quran membuat saya merasa selalu terpuaskan. Ia sungguh tak pernah bisa habis terbaca. Bagai sebuah novel, Al-Quran adalah novel serial sepanjang masa yang memuat peri kehidupan kita. Apapun masalahnya, siapapun orangnya, bagaimanapun kondisiny ; Al-Quran adalah jawaban yang tak pernah salah.

Salah satu yang saya temukan dan membuat hidup saya kemudian berbalik adalah tentang berhijab. Saya ingin membahas sedikit dengan bahasa santai tentu saja. Mohon di maklumi ya, sebab saya bukan ahli ceramah.

Perintah untuk menutup aurat ada didalam Al-Quran sebagai salah satu ayat yang tegas. Allah sendiri yang mengatakannya langsung. Artinya,  jika tidak dilaksanakan maka akan ada hukuman menanti. Bahkan Rasulullah bilang bahwa perempuan yg tidak menutup auratnya tidak akan pernah diijinkan untuk mencium wangi surga. Astaghfirullah, coba girl... mencium wanginya saja tidak diijinkan apalagi masuk kedalamnya. Lalu, jika begitu apalagi yang kalian perjuangkan didunia ini? Jika sudah Allah dan RasulNya sendiri yang bicara, maka ini bukan lagi sekedar wacana, bukan culture, ini perintah. Dan perintah Allah wajib dilaksanakan.

Ada teman saya berseloroh, bahwa berhijab menjadi ada sebab nabi hidup di timur tengah yang notabene adalah negara gurun pasir. Dimana masyarakatnya menggunakan pakaian serba tertutup untuk melindungi kulit mereka dari ganasnya gurun pasir. Andai nabi tinggal di hawai pasti pakaian yang disarankan adalah bikini.

Ada. Juga kawan saya bicara,  bahwa tak perlulah berhijab benar jika belum siap. Nanti justru membuat malu hijabers lainnya karena kelakuannya tidak sesuai dengan pakaiannya. Fisik tidak berhijab tak apa, asal hati berhijab.

Gals, begini....

Bahwa Nabi banyak hidup di timur tengah itu memang benar. Tapi itu bukan tanpa alasan.Ada  ayat yang mengatakan bahwa Allah menurunkan Islam di negara Arab saudi agar diikuti oleh negara lain di sekitarnya. Coba kalian buka atlas, globe, gps atau apapun yang menunjukkan lokasi. Arab saudi ada di tengah dunia. Yang artinya adalah Allah sengaja menurunkan Islam disana untuk diikuti oleh seluruh dunia. Masih mau nyangkal? Jangan bebal deh.

Islam itu luar dan dalam. Lahir dan. Bathin. Psikis dan fisik. Kalo menurut kalian menutup aurat secara nyata tidak penting asalkan hatinya berhijab artinya kalian hanya bertindak secara bathin. Sama saja ketika kalian lapar dan ingin makan, tapi cukup makan dalam hati saja. Bisa? Ah tentu saja tidak. Lagi pula, jika secara fisik saja tidak melakukan apalagi hatinya? Ayo berhijab, cantik. Tak akan ada yang tau sampai kapan usiamu.

Love; Me.