Kepergian
biasanya identik dengan sesuatu yang berbau hilang. Konsep pergi bagi kita
lebih kepada keadaan dimana kita biasanya akan menyesali sesuatu. Saya sudah
beberapa kali merasakannya, kehilangan seseorang sebab kepergiannya. Dan itu
sakit.
Sore tadi, mama saya menelpon.
Dengan suara yang serak beliau mengabarkan tentang kepergian. Salah satu
keponakan terdekat saya, anak dari sepupu kesayangan saya kecelakaan dan
meninggal. Saya saat itu bingung harus bereaksi apa. Tapi saya berusaha
mencerna dengan kecepatan kilat, bahwa kepergian Firdaus ( Nama keponakan
tersebut ) adalah sebuah takdir yang tidak hanya menyakitkan tetapi juga indah.
No, Saya bukan berbahagia atas kepergiaannya. Tapi saya percaya, semua yang
Tuhan atur dan beri untuk kita adalah yang paling Indah. Termasuk kepergian
orang yang begitu kita cintai.
Bicara memang lebih gampang
ketimbang melakukan. Saya tau, andai saja saya yang ada di posisi Mba Tia (
nama ibu Firdaus, sepupu kesayangan saya ) pastilah saya bisa meraung-raung,
pingsan-pingsan atau bahkan lebih ekstrim dari itu: Saya bisa jadi gila.
Kehilangan seorang anak seperti kehilangan sebuah hati. Bagaimana rasanya hidup
tanpa hati, tanpa rasa yang meletup-letup, tanpa amarah yang muncul dan pergi,
tanpa bahagia yang datang mendadak. Saya membayangkan bagaimana kehidupan mba
Tia setelah ini. Dia tak bisa lagi menunggu kehadiran Firdaus setiap harinya,
kepulangannya dari sekolah, memarahi kenakalannya, atau memotong uang jajannya.
Bagaimana bisa, seorang ibu yang selalu membela anaknya lantas tak bisa lagi
melakukan itu. Saya tau itu sungguh tak mudah.
Bicara
tentang Firdaus, adalah bicara tentang seorang anak lelaki pemberani yang tak
hanya nakal, tetapi juga cerdas. Beberapa kali mama saya mengabarkan tentang
tingkah polahnya yang menyulitkan mba Tia. Saya saat itu hanya menggeleng
pelan. Lantaran saya berfikir, Firdaus bukannya nakal, Tapi dia kreatif.
Firdaus bukan bandel, tapi dia inovatif. Tak ada anak yang nakal. Tak ada anak
yang bandel. Mereka semua memiliki bekal yang lebih dibanding anak pendiam
lainnya untuk jadi hebat dan berkualitas. Tapi orang tua kadang luput untuk
memperhatikan perkembangan anaknya. Orang tua terlalu melihat hijaunya rumput
tetangga dan tidak melihat betapa rumput dihalamannya sendiri tak hanya hijau, tapi
sudah cokelat saking matangnya.
Kepergian Firdaus membuat saya
berfikir, Tuhan benar-benar hanya menitipkan anak dan akan mengambilnya lagi
dengan cara dan waktu yang sama sekali kita tak tau bagaimana dan kapan. Banyak
orang yang akan melakukan penghiburan dengan mengatakan bahwa kita ini hanya di
pinjami, dan jika yang meminjami kelak akan mengambil lagi miliknya kita sama
sekali tak berhak marah atau bahkan kecewa. Tapi saya tidak akan pernah
melakukan itu, meski saya akui dengan sadar bahwa kalimat itu sangat benar.
Karna saya merasa bahwa kita bukan saja dipinjami, bukan saja dititipi tapi
juga sudah di beri hak milik. Bagaimana tidak, seorang anak kita yang
mengandung. Rasanya sulit, sakit dan sangat berat. 9 bulan dalam perut,
bernafas dari hidung yang sama, makan dari mulut yang sama dan terus melakukan
segalanya berdua. Lalu, masih harus melakukan jihad dengan melahirkan,
pertaruhan nyawa dengan rasa sakit yang luar biasa. Lantas mengurusnya, lantas
bekerja bantingtulang membesarkannya, lantas ini itu apalah apalah. Banyak yang
sudah kita lakukan. So, sangat wajar jika lantas Tuhan mengambilnya lagi kita
kecewa. Sangat masuk akal jika kita sedih dan sakit. Sangat manusiawi jika kita
lantas marah. Kita tidak akan masuk neraka kok dengan meraung menangisi
kepergiannya.
Mba
Tia itu sepupu kesayangan saya. Saya benar-benar menyimpannya di dalam hati.
Meski mungkin tidak ada yang tau dan bahkan mba Tia sendiri tidak menyadarinya,
tapi sungguh saya menyayanginya melebihi sepupu lainnya. Bagaimana tidak, sejak
saya kecil saya bersamanya. Tak hanya bermain, tapi saya bahkan
mengidolakannya. Dia cantik, putih dan seorang mayoret utama Drum Band terbaik
di kota saya. Perempuan semanis itu, pasti akan mudah untuk disayangi.
Mba tia ulet, pekerja keras dan
memiliki effort yang tinggi akan hidupnya. Pengabdiannya pada keluarga tak
hanya besar, tapi juga abadi. Dia mengurus anak sembari membantu suaminya
memenuhi kebutuhan hidup. Dialah pejuang sejati, petarung yang pemberani dan
pahlawan tak habis-habis bagi anaknya. Kini, setelah kepergian Firdaus, ia
hanya memiliki 1 anak perempuan. Thalita, anak manis mungil dan cantik. Mereka
akan menjadi perempuan kuat kelak. Saya yakin itu.
Kehilangan anak pria sulungnya,
tentu akan membuatnya lemah hati. Tapi saya yakin, tak lama lagi dia akan
kembali berdiri. Lebih tegar dari sebelumnya, lebih kuat dari yang lainnya. Dia
telah melewati satu tahap yang tak bisa semua orang lewati dengan tegar. Dia
telah memenuhi tugasnya dengan baik. Allah pasti telah meluluskannya dalam
ujian menempuh kesakitan akan kehilangan, karna itu Allah memberinya ujian ini.
Sebab Allah tau, hanya mba Tia yang mampu melewatinya. Sebab itu Allah tak
mengambil anak saya seperti Firdaus diambil dari mba Tia, sebab saya tak sekuat
dia. Sebab Allah tak meluluskan saya dalam ujian itu.
Sedih
dan kaget jelas merayapi di hati saya kini. Bagaikan pemilik kebun pisang yang
tak sempat memakan salah satu hasil pisang panenannya. Saya kehilangan satu
pohon yang tak akan pernah berbuah lagi. Sekali berarti setelah itu mati.
Firdaus Umar Faturakhman. Selamat
bertemu Tuhan. Selamat jalan dan selamat melewati segala pertanyaan. Mama,
papa, dan Thalita pasti terus mengingatmu. Mba ami, Airin, Eyang Idha, Cahya,
dan semua saudara juga akan terus percaya, bahwa doa kami, doa seluruh kerabat
adalah hadiah terbaik untukmu kini.
Manusia. Dari tanah dan akan
kembali ke tanah. Yang Tenang yah sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar