Rabu, 06 Januari 2016

IMPIAN TERBESAR ? SILAHKAN DATANG !

Lama sekali rasanya saya gak menyapa lewat blog ini. Klise yah kalau saya bilang betapa sibuknya sampai bahkan saya gak sempat menulis. Dan sangat arogan kalau saya bilang saya gak berusaha untuk menyempatkan menulis. alasan paling masuk akal kenapa saya jadi lama sekali gak menulis di blog adalah kemalasan itu sendiri. Saya sedang sangat menikmati peran sebagai ibu, sebagai istri dan sebagai seorang manusia yang memutuskan fokus ke keluarga. Dan sejujurnya, itu memang membuat saya jadi malas menulis.

Berkali-kali saya ceritakan disini, kalau passion saya, cita-cita saya , impian terbesar saya ada di pendidikan anak-anak. Saya cinta menulis, saya bahkan selalu merasa terjun bebas setiap kali menuliskan sesuatu dan menyampaikannya melalui apapun. saya juga sangat jatuh hati pada alam, saya naik gunung sampai lupa pulang, diving sampai lupa mendarat, atau caving sampai lupa bahwa saya bukanlah mahluk melata tapi manusia sejati. Atau yang nyaris tak pernah luput dari hari-hari saya adalah teater, Panggung baca puisi atau sekedar tampil dalam tarian kontemporer. Dalam dunia panggung itulah cinta dan segenap hati saya telah habis terlumat. Namun jangan salah, dibalik 3 dunia itu ada satu dunia yang merangkum hasrat terpendam saya. Dunia yang untuk membicarakannya saya seperti mencecap garam sejuta ton banyaknya, dunia dimana tak ada kata yang pantas untuk saya ejawantahkan demi mendefinisikan kecintaan saya padanya, dan dunia dimana hati saya menggelepar bagai ikan kekurangan air : Dunia Pendidikan Anak. Dan impian terbesar saya ada di sana.

Saya percaya bahwa takdir akan menuntun kita pada suatu kejadian yang tak terelakkan. Seperti saya yang telah menulis novel sejak berapa tahun lamanya, namun enggan mengirim pada penerbit karena merasa belum pantas atau belum memadai. Namun suatu hari, di siang yang terik dan di saat yang tak terduga saya berkenalan dengan salah satu pemilik penerbitan. Perbincangan dan obrolan sampai pada meletakkan visi misi yang ternyata sepaham, dari situlah lantas novel saya terlahir. Rahim yang kita tak pernah bisa memilih, novel saya menjadi anak dari kandungan sebuah penerbit dimana saya tak pernah bisa menentukan ibunya. Itulah takdir, itulah kesepakatan semesta. Saya mengakui dan menerimanya dengan utuh.

Seperti itulah juga Sekolah yang saya impikan. Mati-matian saya gelisah disetiap malam, ketakutan disetiap siang, dan menangis disetiap mimpi. Saya melihat betapa masa depan anak-anak di Indonesia telah tergadaikan oleh kurikulum yang menjadikan mereka sebatas robot penghapal belaka. Kemampuan terbaik mereka hanya pada nilai sepuluh atau IPK tertinggi, tapi melupakan essensi pendidikan itu sendiri. Mereka hebat ketika bisa menjadi yang terbaik dan menjadi tak berarti ketika mereka membantu sesama. Orang tua mendadak memojokkan anak-anaknya untuk ikut les ini itu demi membungkam ocehan semua orang tentang anak-anak kebanggaannya. Perlombaan itu hanyalah sebuah posisi, dimana anak-anak adalah tumbalnya dan orang tua adalah tukang jagal tanpa adab yang normatif.

Saya ingin memiliki sekolah dimana tak ada guru atau murid, semuanya belajar bersama didalamnya. saling mengajari dan saling belajar. Sekolah dimana tak ada yang peduli pada nilai akhir anak-anak, tapi sangat menghargai proses mereka dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Kelas dimana tak ada perintah untuk mengerjakan tugas apa tapi hanyalah ada keputusan dan kesepakatan bersama tentang jenis pelajaran yang akan mereka lakukan hari ini. sekolah dimana tak ada dikte dari guru tentang satu di tambah satu adalah dua, tapi hanya ada tangn terbuka para guru untuk menuntun siswanya mendapatkan hasil dari penjumlahan tersebut.  Saya memimpikan itu setiap saat, hasrat saya lebur dalam sekolah impian itu.

Tapi sekali lagi, saya butuh takdir untuk menjalaninya. Saya mendengar tentang metode montessori sudah sejak tahun 2000. Beberapa sekolah telah menerapkan metode tersebut namun entah karena apa saya enggan mencari tau tentangnya. Padahal tahun itu internet sudah mulai ramah pada masyarakat indonesia termasuk saya. Tapi jari-jari saya tidak pernah tergerak untuk mencari tau tentangnya lebih lanjut. Dan bagaimanapun takdir memang belum menemukan saya dengan montessori kala itu. Beberapa sahabat saya sudah ada yang menjadi guru dan tidak ada satupun yang tertarik menceritakan tentang metode itu pada saya. Tidak ada satupun. Sampai hari itu terjadi, hari dimana saya dikenalkan oleh seorang dokter spesialis anak nan cantik jelita : Trully Kusumawardhani.

pekerjaan suami saya yang seorang reporter majalah tumbuh kembang anak kala itu, memungkinkan dia untuk bersinergi dengan banyak psikolog atau juga dokter anak. Dari sekian banyak dokter anak yang dikenalnya, Ibu TRully ini entah mengapa masuk dalam benak saya. Lucunya adalah, bahkan sebelum saya dikenalkan kepada dokter ini, saya bahkan telah jatuh hati pada sikapnya. Saya ingat betul, suami saya menceritakan setiap karakter narasumber yang ditemuinya setiap malam pada saya, tak terkecuali dokter Trully. Dan entah mengapa, meskipun setiap berita yang dibuat oleh suami saya selalu melahap untuk membacanya, tapi berita tentang dokter trully ini begitu hangat masuk ke hati saya. Ini bukan lebay, tapi saya tau inilah saatnya semesta bicara. Takdir menuntun saya kearah montessori melalui dokter Trully.

Siapa yang bisa menduga, cita-cita terbesar saya ada di metode montessori. Dan siapa yang bisa menebak, saya membutuhkan 16 tahun untuk mencari metode tersebut hingga akhirnya menemukannya melalui seorang Dokter spesialis Anak.

Saya jelas belum jadi expert di bidang montessori, ibu Trully adalah perempuan berjasa besar yang mendukung kebutuhan dan kehausan saya akan ilmu tersebut. salah satu jalan yang menurut saya sangat berpengaruh bagi takdir besar ini adalah langkahnya mendaftarkan saya kesebuah pendidikan singkat tentang montessori. Dan saya harus membungkuk untuk kehormatan tak terkira ini padanya.

Saat ini, saya mulai sedikit demi sedikit menapaki cita-cita dan hasrat terbesar ini. Betapa saya sangat berterimakasih pada lelaki yang terus mendukung saya selama ini, betapa besar hati saya untuk tak henti berterimakasih padanya The real man, Ade Riyan Purnama. Dan entah sudah berapa kali saya sebutkan, namun rasanya tak pernah bisa habis saya berterimakasih padanya , Terimakasih ibu, terimakasih guru saya : Trully Kusumawardhani.

dan terimakasih pada hidup, pada masa yang waktunya memampukan saya untuk terus menjejak. untuk terus bisa bermimpi dan berusaha mewujudkannya. terimakasih.

Love

-Me_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar