Sudah jam satu pagi. Ini dini hari. saya belum juga memejam.
Saya
itu gampang banget marah, emosi, dan meledak akan satu hal. Saya bisa
sangat membenci seseorang jika dia melakukan hal tersebut meski bukan
sama saya. Dan saya bisa akan berlipat-lipat kali lebih jahat dari
monster kalau itu sudah terjadi. hal apa ? : Mengabaikan. So, Don't do
it.
saya gak suka mengabaikan, apalagi diabaikan. Itu
rasanya sumpah gak enak banget. Jadi saya gak bakalan melakukan itu dan
gak suka ada orang yang melakukan itu. terlebih apabila hal tersebut ada
disekitar saya. Beneran saya mendadak bisa jadi meletup kayak kawah
candradimuka. Panas dan berapi.
Saya ada didalam
sebuah Productionhouse besar, berkualitas dengan pemilik yang
kompetensinya tidak diragukan lagi. Bertahun saya didalam sana.
Tergabung dalam satu Tim yang mewadahi produktifitas PH tersebut,
termasuk salah satunya menentukan siapa talent/ aktris yang akan dipakai
untuk sebuah produksi. Maka tak jarang, ada yang iseng atau juga serius
'nitip' kesaya supaya bisa main. Dalam hal ini, saya gak suka melakukan
itu. tapi bukan KKN ini yang saya maksud, lain waktu kita akan obrolin
ini, maybe.
kemarin, iya kemarin banget. Iseng saya
liat-liat lemari terbuka ( lebih tepatnya rak buku terbuka ) di sudut
ruangan tempat saya beberapa tahun ini meniti karier disitu. Dan saya
menemukan hal janggal. setumpukan amplop cokelat masih tertutup rapi,
belum dibuka sama sekali, berusia tahunan, dan sangat bau tua tergeletak
nyaman disitu. Waktu saya lihat, sampulnya bertuliskan: Talent. Saya
melongo. Lihat cap pos dan menunjukkan tanggal sekitar dua tahun lalu.
Saya mingkem. Hati saya bergemuruh.
Itu amplop berasal
dari mana-mana. Ada yang dari Jogja, surabaya, Medan, dan macam-macam
lagi. Kondisi belum terbuka dengan waktu tahunan itu membuat saya
berfikir, bagaimana bisa kami mengabaikan mereka selama ini. Sementara
saya tau, mereka yang ada nun jauh dari tempat saya berdiri sekarang
pasti sedang memimpikan menjadi aktris atau aktor terkenal, bisa
membiayai kuliah sendiri, menemukan mimpinya, bahkan memperbaiki
hidupnya. bagaimana bisa, ternyata amplop yang mereka kirimkan berupa
harapan itu masih tergeletak di rak tanpa terbuka sama sekali. Bagai
mana bisa, mereka se-terabaikan itu. Saya nyaris menangis.
saya
berasal dari kampung. Kota kecil di jawa tengah. Saya bermimpi jadi
penulis besar sejak kecil, saya ingin nama saya ada di sebuah novel
sebagai penulis, di running tittle layar lebar, atau di majalah-majalah
nasional. Saya sempat seperti mereka, mengirim, menunggu, untuk kemudian
kecewa. Tapi saya bersyukur karena saya saat itu tidak mengetahui
tekhnis mengapa sampai naskah-naskah yang saya kirimkan belum juga
mendapat tanggapan. Dan, saya sangat benci keadaan yang sekarang dimana
saya menyaksikan sendiri bahkan saya ada didalamnya, didalam sebuah Tim
yang mengabaikan harapan-harapan itu. saya menyesal, dan saya benci ada
di keadaan ini.
Di tolak itu sakit. terlebih bila
passion kita yang di tolak. Tapi itu lebih baik ketimbang kita terus
berharap tanpa ujung yang jelas. terlebih, terkadang harapan itu tidak
hanya singgah pada diri kita sendiri, tapi juga orang tua kita, sahabat
dan orang-orang terdekat. Menyakitkan ketika ternyata bahkan harapan
yang kita kirimkan itu bahkan sama sekali tidak mendapat tanggapan.
Tolong jangan pernah putus asa. Karena sesungguhnya, ketika kalian diabaikan, saat itulah Tuhan akan turun tangan. belive me.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar