Minggu, 03 Agustus 2014

Anak-anakku.

Saat ini sudah tengah malam. Dua orang pria purnama mengelilingi saya dengan dengkur lelapnya. Saya masih tetap gagal memejam. Karna itu, saya ada disini sekarang. Assalamualaikum.

Postingan pertama saya kemarin setelah mengalami libur panjang medapat respon bermacam. Saya yang sempat menutup semua akun sosial media karna ingin fokus menjdi istri dan ibu merasakan kehausan pengikut blog ini kemarin. Facebook lama saya memang sudah tidak pernah saya buka lavi, otomatis pesan dari mereka yang menanyakan kapan saya membuat postingan lagi tidak terbaca. Saya menyesal untuk itu.

Kali ini, izinkan saya menulis tanpa konsep. Sebut saja ini adalah postingan acak adut. Postingan tentang banyak kegelisahan yang belum sempat saya tuliskan disini. Tentang banyak hal yang saya alami, atau sekedar saya lihat, atau juga merupakan pengalaman dari orang disekitar saya, yang memang belum sempat saya uraikan disini. Sebegitu banyaknya, sampai saya yakin postingan kali ini akan menjadi tak berkonsep. Izinkan saya memuntahkan segalanya disini sekarang. Dan saya mohon, jangan tutup dulu laman ini sebelum kalian membacanya hingga selesai. Meskipun kita tidak saling mengenal, paling tidak saya tau, ada orang lain diluar sana yang sedang mendengarkan keluhan saya. Selamat menjadi ' pendengar' di postingan kali ini.

Sering kali, saya menguraikan tentang kesenjangan hubungan antara anak dan orang tua. Kali ini, sekali lagi saya ingin mengulasnya lebih jelas. Anak adalah amanah dari Tuhan. Begitu banyak perempuan yang ingin mengandung, tapi belum juga diberi karunia itu. Padahal mungkin dia sudah cukup mampu. Sudah kaya, sudah matang usia, sudah memiliki suami, sudah mengerti psikologis mendidik anak, sudah siap segalanya. Tapi, Tuhan belum juga memberinya anak. Kenapa? banyak alasannya. Yang jelas, Tuhan pasti lebih tau dari kita. Tapi, ada satu kemungkinan yang bisa saya jadikan sample, adalah kemungkinan bahwa yang bersangkutan belum siap ketika membesarkannya kelak. Bukan secara ekonomi, tapi secara bathin.

Jauh hari sebelum ini, di blog ini, di facebook, di twitter, di kontak bbm, saya sering menerima PM, DM dan sejenisnya dari banyak orang. Terutama remaja tanggung. Ada saja yang mereka keluhkan. Tapi lebih mayoritas mereka mengeluhkan: yang orang tuanya tidak bisa menjadi pendengar yang baik, yang orang tuanya gak asik, yang orang tuanya gak memahami dia, yang orang tuanya menyebalkan, yang ini-itu dan segala macam hal negatif tentang orang tua mereka. Saya selalu gagal memahami, kenapa mereka yang jelas bukan anak saya, bahkan kenal pun tidak - malah banyak yang belum pernah bertatap muka- jadi lebih percaya pada saya, orang yang hanya mereka lihat dari tulisannya. Mereka lebih menikmati curhat dengan saya ketimbang dengan ibu kandung mereka, lebiih nyaman untuk bicara jujur pada saya ketimbang ayahnya. Padahal saya ini siapa? kami tidak saling kenal. Sejak itu, saya yakin, ada yang salah pada pola asuh orang tua kita terhadap anaknya. Kenapa saya yakin? Karena saya mengalami hal yang sama.

Entah mengapa, sejak dahulu, saya termasuk anak yang introvert terhadap orang tua saya. Saya lebih baik diam jika memiliki masalah, menangis sendiri di kamar, atau paling banter saya nulis. Saya juga lebih memilih tak bercerita terhadap orang tua saya, malah, saya cenderung lebih memilih berbohong pada mereka jika memiliki masalah. entah mengapa, rasanya saya sungkan. Aneh, padahal saya ada di perut ibu saya lebih dari 9 bulan, saya numpang bernafas, numpang makan, bergerak, dan keluar dari sana dengan pertaruhan nyawa ibu saya. Lalu kenapa saya harus sungkan? Jawabannya ada di sistem mendidik dan mengasuh.

Anakmu bukanlah milikmu.
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu pada dirinya.
Lewat kau mereka lahir, namun bukan dari engkau.
Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu.
Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu.
Sebab mereka punya alam pikiran sendiri.
Berikan tempat pada raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi, bahkan tidak di dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun tidak membuat mereka menyerupaimu.
Sebab kehidupan tidak berjalan mundur. Juga tidak tenggelam di masa silam.
( Kahlil Gibran * Anak-Anakmu )
Itu puisi Gibran yang paling saya suka. Sejak membaca puisi itu tahun 96 ( saat itu saya masih SMP ) saya langsung bermimpi memiliki kehidupan seperti itu. Impian itu, yang menjadikan ekspektasi saya terhadap keluarga keluar jauh dari yang ditanamkan orang tua saya. Kemudian setelah itu, saya berubah menjadi alien. Saya menjadi anak yang sangat berbeda dengan anak lain. Saya jadi pembangkang, saya selalu merasa apa yang orang tua saya putuskan untuk saya tak pernah benar, saya selalu jadi jiwa yang pengecut. Selalu menyalahkan orang tua saya atas apa yang terjadi pada diri saya. Banyak hal yang saya alami, tentunya tidak mungkin saya ceritakan disini, tapi sejak itu, hingga kemarin sekitar setahun lalu, saya menjadi seorang anak yang selalu mencari. Selalu merasa tidak bahagia. Hingga setahun lalu, saya menemukan apa yang saya cari. Kehidupan saya akhirnya menggenap. Kemudian saya merasa yakin, kali ini saya tak perlu lagi menyalahkan siapapun. 
Apapun yang saya alami, tidak perlu kalian jadikan patokan meski memang kalian tidak mengetahui hal tersebut. Tapi yang ingin saya sampaikan disini bahwa, berilah diri kalian sendiri jiwa untuk mengasuh anak kalian. Jadikah diri kalian sendiri ketika berbicara dengan anak kalian. Selama ini, saya selalu mengenal ibu saya sebagai perempuan yang melahirkan saya, perempuan yang mengasuh saya, perempuan yang membesarkan saya. Hanya itu saya. Tapi saya tidak mengenal ibu saya sebagai manusia seutuhnya. Sebagai seorang Zubaida Widhiana. Begitupun mama saya, dia mengenal saya sebagai anak yang dia lahirkan dari rahimnya, sebagai anak yang dia besarkan, sebagai si upik yang harus terus dipantau, mama saya lupa untuk mengenal saya sebagai manusia. Sebagai Rahmi Isriana saja. Sebutan mama dan anak, memang terasa agung, namun sebenarnya itu melenakan. Memberikan saya dan mama saya batasan, sehingga ketika saya ingin menyampaikan sesutau, sebutan itu terasa sebagai tembok tinggi yang memagari saya dan mama. Saya merasa harus menata kalimat saya supaya tidak menyinggung perasa mama, supa tidak disebut durhaka, supaya tidak begini-begitu. akhirnya, apa yang akan saya sampaikan jadi mentah. Tidak keluar. Gagal. 

Ada pula seorang ibu yang kelewat sayang pada anaknya hingga tanpa sadar menjerumuskan anaknya dalam lingkaran durhaka. Melayani anaknya sampai si anak tidak memiliki celah untuk belajar madiri. Ibu akan kesulitan dan kerepotan, anak pun tidak akan pernah mampu untuk keluar dari dunia kanak-kanaknya. Tidak ada yang diuntungkan dari pola asuh memanjakan seperti ini. Saya bukan tuhan, tapi di dunia belahan manapun saya menemui tidak ada seorang anak yang berhasil dan sukses di hari tuanya jika pola asuhnya dimanjajan. Makan dilayani, tidak bisa bangun jika tidak dibangunkan, mengambil minum harus diladeni, pakaian disiapkan . Dan segala propagansa pengasuhan yang bersembunyi di balik tabir bernama kasih sayang yang sesungguhnya justru tidak menyayangi anaknya. Bisa dibayangkan, jika suatu hari Ibu dipanggil lebih dahulu oleh Tuhan, bagaimana nasib anak manja yang bahkan tidak tau dimana tempat gelas disimpan dirumahnya sebab selalu diambilkan jika butuh gelas. 

Saya 
bukan anak yang hebat, juga bukan orang tua yang luar biasa. Tapi saya berusaha menjadikan anak-anak saya kelak mampu berdiri diatas dirinya sendiri. Dan itu semua harus dimulai sejak dini. Dari mulai hal terkecil seperti mengambil nasi sendiri hingga hal kompleks seperti transformasi status tersebut. Dan apakah saya siap untuk itu? Apakah kalian siap? Harus siap!! Pertunjukan akan erus berjalan dengan atau tanpa kalian didalamnya. 

Love ; me


Tidak ada komentar:

Posting Komentar