Kamis, 18 Desember 2014

Anak dan Bullying.

Hari jum'at. Hari paling baik meskipun semua hari adalah baik.

Sekolah adalah sistem pendidikan yang diterapkan dengan kurikulum terbaik. Setiap sekolah selalu punya program yang diunggulkan. Berbagai macam stimulus akan dilakukan para pendidik untuk bisa menghasilkan siswa dengan prestasi gemilang. Namun secemerlangnya seorang anak, apakah ada gunanya jika semua itu tinggal nama? Ini dia point yang akan saya bahas di postingan kali ini: Sekolah dan siswa Bullying. Selamat menikmati.

Dewasa ini, ada begitu banyak kasus kekerasan terhadap anak. Ada anak yang dipukuli orang tuanya sendiri sampai cacat bahkan mati. Ada yang di siksa baby sitter-nya sampai lebam-lebam, bahkan ada yang hanya sebab tak mau makan seorang anak dilempar ke lantai oleh pengasuhnya. Fenomena-fenomena ini kemudian banyak disiarkan melalui berbagai media. Dari mulai televisi, radio, koran hingga media sosia. Cerita hingga video yang merekam kejadian tersebut benar-benar jadi bukti kalau moral masyarakat kita mulai mendekati kejahatan Iblis. Yang lebih memprihatinkan adalah kekerasan anak yang dilakukan oleh anak lain, kita biasa menyebutnya Bullying ( maaf saya terpaksa menggunakan kata western, ini bukan westernisasi, hanya untk lebih mempermudah penceritaan saja )

Dalam setahun ini, entah sudah berapa banyak cerita bullying yang ada di Indonesia. Nyaris setiap minggu, ada kasus Bully yang terkuak dan jadi pemberitaan hangat. Mirisnya, pada setiap kasus yang terjadi, itu tidak menjadikan kita belajar untuk bisa mengambil hikmah dari kejadian itu. Kasus-kasus itu cuma jadi wacana, obrolan para ibu di sore hari. Kalau bagi saya yang jarang ngumpul dengan ibu lain, itu jadi obat pencahar yang terus bikin saya mules dan ingin muntah. Saya tersiksa sebab tidak bisa melakukan apapun.

Pagi tadi, satu obat pencahar lagi masuk dalam tubuh saya. Seperti mengalami penolakan kuat, saya langsung memberontak. Suami saya membacakan artikel tentang seorang anak yang di pukuli kakak kelasnya hingga meninggal di daerah jalan Makassar Jakarta Timur. Saya langsung diam, suami saya menceritakan dengan intonasi yang bahkan tidak bisa saya terjemahkan. Rasa sakit anak itu mencapai mata saya, turun ke hati. Saya membenci ini semua, saya benci sebab saya tidak bisa melakukan apapun pada keadaan ini. Saya benci sebab saya tidak tau harus marah pada siapa, saya benci sebab saya ketakutan hal serupa akan terjadi pada anak-anak saya esok. Saya benci ini semua.

Anak tersebut tidak sengaja menyenggol bahu kakak kelasnya dan menumpahkan jajanan pisang cokelat yang sedang dimakan pelaku. kemudian si kakak kelas marah, menyuruhnya mengganti. sudah diganti, eh si anak masih dipukuli didaerah perut dan pantatnya. Sesampainya dirumah anak tersebut kejang-kejang dan meninggal. Saya membayangkan, apa yang dirasakan anak tersebut saat dipukuli oleh kakak kelasnya. Bagaimana ketakutannya anak itu saat berlari menghampiri tukang pisang cokelat guna mengganti jajanan yang tidak sengaja ia tumpahkan itu. Bagaimana anak itu kemudian minta tolong dan berteriak minta ampun saat di pukuli kakak kelasnya. Bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya. Saya menangis sendiri membayangkan itu semua. Lalu bayangan itu mendekati pada objek yang lebih mengerikan lagi, bagaimana kalau korban itu adalah Arior atau Airin. dan bagaimana sebaliknya, jika si pelaku justru adalah anak saya sendiri. Ya Allah, pada tahap ini saya harus berhenti mengetik dan menghampiri lemari es hanya sekedar untuk mengambil minum. Saya kelelahan membayangkan itu semua.  

Apa yang sebenarnya terjadi pada masyarakat kita? ada apa ini sebenarnya? Dulu, saat jaman kematian siswa STPDN karena diksar dari seniornya, kecaman demi kecaman keluar dari masyarakat kita. Hingga akhirnya sistem kekerasan didikan militer harus dihapuskan dari sekolah angkatan di Indonesia. Lalu sekarang bagaimana? Ini ada anak menyiksa temannya sendiri, kadang bahkan keroyokan hingga korban meninggal. Dan kasus ini bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Terus gimana? kok semuanya diam saja, kok saya diam saja? kita ini kenapa diam saja?

Saya akui, kediaman kita mungkin bukan cuek. Kita terkesan diam sebab kita tidak tau harus berbuat apa. Andaipun kita ingin berbuat, kita bingung bagaimana sistem mekanisme dan cara melakukannya. Andaikata kita paham semuanya, kita tetap masih terbentur pada sebagian masyarakat yang kurang peduli. Benturan itu kadang membuat kita jadi mati gaya. Kita seperti ada di dunia yang hilang, kita tau cara untuk pulang tapi armada tidak bisa mencapai kita. Dan kemudian kita terjebak didalamnya. Mau tak mau harus ikut jadi penghuni pulau.

Suami saya sering memprotes, kok bisa sih anak sekolah mukulin temennya gurunya gak tau. Kemana aja gurunya waktu si anak itu dipukuli. Kok bisa kecolongan? Saya pun mengeluarkan pertanyaan yang sama dengan suami saya, tapi pertanyaan saya itu merayap bersama pertanyaan yang lain. Itu bukan cuma salah gurunya, itu juga salah orang tuanya. Kemana aja orang tuanya sampai anaknya bisa punya ide sadis mukulin temennya sendiri? apa yang di stimulus orang tuanya sampai anak bisa punya keberanian sehebat itu? Lingkungan seperti apa yang dijalani anak itu sehingga dia bisa punya bakat jadi preman yang hobbynya mukulin orang?

Suatu malam saya dan suami membahas tentang itu, kami sadar begitu banyak faktor yang menjadikan seorang anak bisa jadi seperti itu. Salah satunya yang kami bahas adalah tontonan televisi. Sinetron yang digandrungi bahkan sampai ditiru. Beberapa bulan lalu, muncul unggahan Video dimana seorang anak perempuan di pukuli ramai-ramai di pojokan kelas. Anak lelaki bergantian menendang dan memukulnya, bahkan ketika si anak korban itu sudah minta ampun dan kesakitan. Video itu, mirip dengan salah satu scene di sinetron GGS ( Sorry to say that ). Saya sendiri suka sekali dengan film aslinya Twilight. Konon katanya sinetron itu mengaku meniru cerita Twilight. Saya kecewa, sebagai penggemar Bella dan Jacob, saya benci mengatakan ini bahwa sinetron GGS sama sekali gak sama ama cerita Twilight. Jauh banget. Sebagai seorang penulis skenario, saya kecewa sebab jika memang sinetron itu mengambil cerita Twilight, kenapa cerita yang oke banget itu bisa jadi gak jelas dengan bumbu begitu banyak sampai akhirnya rasanya jadi pahit. Saya mengutuk sinetron itu.

Di Indonesia, tontonan itu bisa dapat rating tinggi kalau mengikuti selera pasar. Nah selera pasar kita yang membentuk ya tontonan itu sendiri. Ngomongin siapa yang salah disini sama aja kayak nebak siapa yang lahir duluan : Ayam atau Telur. GGS harusnya udah di cabut izin tayangnya, sebab di cederai menjadikan contoh buruk bagi anak-anak. Sempat gak tayang tapi kemudian tayang lagi sebab banyak protes dari masyarakat kita yang ngefans banget sama sisi dan Aliando. Gak usah ngomong jauh-jauh, tetangga depan rumah saya punya anak kecil 2 orang dan keduanya fans berat sissy. Adik ipar saya ( yang usianya 7 tahun ) bahkan salah satu penggemar berat sinetron GGS. Apa yang bisa kita perbuat sekarang? Siapa yang salah kalo para ibu juga gak concern sama tontonan anak-anaknya. Tetangga saya bilang, " ah gak papa. Regal sama Cinta ( nama dua anaknya itu ) gak bakalan mukulin temen2nya cuma gara2 nonton GGS. Regal gak begitu kok anaknya. Dia pendiem "

Right. Gimana coba kalo kalian jadi saya? pengen nujes-nujes muka si ibu pakek high heels 17 cm yah? Mungkin anaknya emang kalem, pendiem nurut sama orang tua. Tapi sadarkah dia bahwa yang namanya stimulus itu bisa merubah tabiat seorang anak jadi sangat jauh dari karakter aslinya? Dan untuk ini semua saya bersyukur Airin bukan penggemar GGS, thanks God. Bahkan banyak dari para ibu yang juga penggemar sinetron itu. Ya terus mau diapain kalo udah gitu? Siapa yang bisa mendukung lembaga penyiaran untuk memberhentikan tayangan kalo masyarakatnya begitu? Dan terus sekarang kita bisa apa?

Selain GGS, ada juga pengaruh sistem didik orang tuanya. Ada orang tua yang anaknya salah sedikit aja langsung diomelin kayak anaknya bikin salah udah ngancurin rumah beserta isinya. Didikan itu yang kemudian membuat si anak jadi pribadi yang mudah takut, pendiam dan akhirnya jadi objek Bullying. Atau sebaliknya, anak itu bakalan jadi anak yang penurut dirumah tapi pemberontak diluar rumah. Dia menyalurkan kemarahan akan perlakuan orang tuanya kepada teman teman-temannya di luar. Jadilah dia pelaku bullying. Selain itu juga, ayah dan ibu yang sering bertengkar di depan anak-anaknya adalah contoh paling hebat dimana anakna akan meniru menjadi mereka di luar sana. Seorang ayah yang hobby menyuruh ibu mengambilkan pakaian, akan membuat anaknya ikut meniru memerintah ibunya mengambilkan pakaiannya. Ayah yang tidak mandiri jangan harap bisa punya anak mandiri. Itu contoh gampangnya.

Jadi, setelah saya panjang lebar bercerita gini, apa yang saya dapat? Saya butuh bicara, saya butuh ngobrol dengan teman yang sepaham dengan saya. Mari kita bersekutu untuk bisa memecahkan persoalan ini bersama. Siapa tau persekutuan kita ini bisa menghasilkan ide yang mampu direalisasikan untuk mengurangi terjadinya ( lagi ) hal-hal yang saya sebutkan diatas. Siapa tau kita yang ditakdirkan memperbaiki ini semua. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar