Sabtu, 11 Juni 2016

PMI dalam Hati.

KSR pekalongan. Kesiagaan PMI
Suatu hari pada suatu masa, saya mendapatkan diri saya mendadak terbangun dari tidur yang sangat panjang. Rasanya seperti baru saja di goncang oleh gempa berkekuatan ribuan skala. Suatu hari pada suatu masa itulah dimana saya akhirnya ‘berkenalan’ dengan PMI. Kami berdua resmi menjadi satu pada kala itu.

Harus saya akui, bahwa PMI telah mengibarkan namanya berkali-kali dalam hidup saya. Beragam momen tumpang tindih yang berkaitan dengan PMI. Namun sebagai seorang anak remaja yang belum ‘melek’ guna PMI, saya menafikannya. Kehidupan saya yang damai sentausa, membuat saya tak merasakan membutuhkan PMI secara Artificial.

Segala kesombongan saya berakhir di suatu hari.

Harus saya kisahkan lebih dulu, titik balik saya bersama PMI mengalami metamorfosa yang cukup lama. Dengan cerita yang beragam, berkali-kali dan perlahan-lahan. Saya mengumpulkan setiap remikan kisah tersebut hingga sebuah kisah mahadahsyat lantas menggenapi mozaik dari puzzle cerita saya akan PMI. Saat itulah saya terbangun. PMI telah menyuarakan dirinya dengan utuh di hati saya.

Saya adalah seorang perempuan yang sangat gemar berpetualang. Apa saja saya lakukan demi meladeni hasrat tualang saya. Naik gunung, panjat tebing, rafting, diving, dan begitu banyak kegiatan alam lainnya yang kerap kali saya ikuti. Sampai suatu hari, di kalimati Semeru saya mengalami kram kaki akut. Hal lumrah terjadi bagi pendaki yang kurang mawas diri pada pentingnya pemanasan sebelum mulai ‘manjat’. Tapi kali ini, ketika saya membuka kaki, dua orang teman saya berteriak dan saya melongo sendiri. Telapak kaki kiri saya hitam legam. Saya melihat kontras warna kulit kaki saya dari mata kaki keatas dan mata kaki kebawah bagaikan tiang listrik. Hitam dan putih. Kebal dan baal. Saya bahkan tak merasakan apapun di telapakan tersebut. beragam lintasan pikiran negatif muncul satu-satu. Termasuk diantaranya kerasukan dan terkena setan gunung. Tapi seorang mentor pendakian kali itu dengan tenang mengambil peniti dari dalam kantong belacunya, lantas menusukkan peniti tersebut dengan segera ke setiap punggung jari kaki saya. Perlahan-lahan darah keluar. Dan denyutan mendadak datang. Saya berteriak kesakitan. Kebal dan baal di kaki berubah menjadi kesemutan akut. Kalimati boleh jadi merekam tangisan saya kala itu.

Jefry Pangihutan Hasibuan, adalah nama mentor pendakian saya kala itu. Dia dengan telaten mengurus kaki saya tanpa protes dan mengomel sedikitpun. Selang dua jam kemudian saya sudah bisa dengan lincah melanjutkan kembali pendakian. Satu hal yang saya tau, Kalimat Kajep ( Kak Jefry )mengkonfirmasi sesuatu, “ Aku belajar P3K tadi di PMI. Waktu ada workshop relawan. Kapan-kapan kamu harus ikut belajar. “Satu kisah mulai menampakkan taringnya.

Gempa Jogjakarta di bulan Mei 2006 menjadi salah satu ragam kisah saya dan PMI. Saat menjadi relawan Gempa Jogja tersebut, Tenda saya yang saat itu ada di bawah naungan UPL( Unit Pencinta Lingkungan ) bersebelahan persis dengan tenda PMI. Saya takzim dengan segala kegesitan tim PMI dalam menangani korban gempa. Namun satu cerita kembali menyolek saya dengan perlahan.
Seorang anak kecil berlari tergopoh ke tenda di hadapan saya( tidak bisa saya sebutkan tenda siapa karna berkaitan dnegan salah satu organisasi besar ), entah apa yang anak itu katakan hingga salah satu relawan dari tenda tersebut keluar dan menghampiri kami. “ UPL ada yang bisa di kirim ke kasongan? Bawa nenek anak itu kesini. Dia kena asma” Saya yang saat itu sedang menyantap popmie mendongak dan celingukan. Di tenda hanya tinggal sata dan 2 orang teman yang sedang tertidur. Kami bahkan baru kembali dari Imogiri untuk membantu beberapa korban disana. Sementara saya tau, di tenda depan itu banyak relawan yang masih bebas tugas karena belum mendapat komando langsung dari koordinatornya. “ kami baru saja kembali kak. Di ***** bukannya banyak orang yah kak?” Ketika saya menjawab permintaannya sungguh tak ada maksud apapun dalam benak untuk menolak permintaan anak tersebut menolong neneknya. Tapi entah bagaimana, anak tersebut lantas menangis dan meraung. Seorang perempuan berhijab keluar dari tenda PMI, memeluk anak itu dan menanyakan perihal tangisannya. Lantas dengan segera masuk kedalam tenda dan dalam hitungan detik keluar lagi bersama ketiga temannya membawa drakbar. Saya melongo, malu dan diam. Sekali lagi PMI menyatakan tempatnya di hati kemanusiaan pada saya secara tunai.

Tragedi ketiga terjadi di Jakarta tahun 2012. Saat itu saya sudah bekerja menjadi salah satu staff di Dekopin ( departemen koperasi indonesia ). Sekitar jam 17.30 saya dan dua orang teman terhenti di lampu merah pancoran. Kebetulan mobil kami berada di deretan terdepan antrian kendaraan. Datang dari arah gatot subroto, sebuah metromini dengan kecepatan penuh dan di depan mata saya ia menabrak sebuah motor matic yang dikendarai perempuan muda. Motor itu terpelanting ke bahu kolong fly over dan si perempuan pengendaranya terseret motornya sendiri. Teman saya instingtif keluar dari mobil dan berteriak-teriak. Saya menyusulnya berlari di tengah kerumunan ramai pancoran. Dua orang polisi langsung menyeruak diantara kerumunan massa. Teman saya yang mengendarai mobil meneriakkan klaksonnya berkali-kali tanda mita ruang untuk lewat. Perempuan itu bermandi darah. Entah bagaimana asalnya mendadak tubuh saya pun ikut mandi darah. Ternyata tanpa sadar saya telah meraup perempuan itu dalam pelukan saya. Polisi meminta saya minggir karna akan dibuatkan garis polisi, tapi entah karena apa saya mendadak jadi sekuat Rambo. Berbekal ketakutan akan kejadian terburuk, saya dan satu orang teman akhirnya membawa perempuan itu kedalam mobil kami dan pergi menjauh dari kerumunan. Didalam mobil, teman saya mengucapkan kata-kata yang lantas menampar saya “ Kita bawa ke PMI terdekat. Ke rumah sakit kondisi kayak gini bakalan lama.”

Saya melihat dengan mata dan kepala saya sendiri bagaimana PMI dengan cekatan melakukan tindakan penyelamatan pertama. Dengan rakus para dokter dan relawan di sana begitu haus akan menolong korban kecelakaan itu bahkan tanpa perlu tau identitasnya terlebih dahulu. “ tolong dulu aja. “ begitu saya dengar salah satu dokter di PMI memutuskan.

Hari itu juga saya melihat dengan nyata, tindakan yang selama ini telah saya alami mendadak terputar sedemikian acak di ingatan saya. Kejadian kalimati, gempa jogja, Kasus kecelakaan ini, juga beberapa kejadian kecil lainnya seperti saat saya melahirkan anak dan butuh pasokan darah, atau saat kejadian banjir jakarta. Saya secara afirmasi telah sepakat dengan PMI. Mendadak tanpa perlu saling berkata-kata saya menjadi bagian abstrak dari PMI.

Sejak saat itu hingga hari ini, saya mencintai PMI mati-matian. Saya mengagumi PMI dengan hati yang penuh dan utuh. Sebagai bentuk dari terimakasih saya akan kejadian demi kejadian yang terkumpul di hari-hari saya. Tulisan ini saya persembahkan.


facebook : Amoy AiRior
Twitter  : ami_airin 
email    : ami.airin@gmail.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar