Minggu, 30 November 2014

Harta Karun ODHA

1 Desember, awal bulan yang kelak akan jadi nostalgia di awal bulan berikutnya karena usungan tahun baru dengan terompet dan kemegahan pesta akhir tahun sudah tercium dari sekarang. Tapi hari ini, saya mendadak seperti sedang berjalan sendirian, melihat kanan kiri dan kesepian. 1 Desember, mengingatkan saya pada banyak sahabat saya di luar sana yang mulai jarang saya sapa, mulai jarang saya usap peluhnya. ODHA ( Orang Dengan HIV AIDS ) , apakabar kalian semua? Saya kangen kalian.

Saya bersyukur hingga detik ini saya masih diberi kesehatan luar biasa oleh Allah, saya masih bisa hidup dengan sangat berkualitas. Tapi saya lebih bersyukur lagi, hari ini saya mengingat sesuatu tentang ODHA. saya mengingatnya sejelas saya melihat sendok didepan mata saya.

Sejak tahun 2005, saya dan Almh sahabat baik saya Inay, menjadi Volunter untuk ODHA. kami ikut begitu banyak kunjungan ke rumah sakit-rumah sakit, berkeliling Indonesia untuk datang dan menjadi penyemangat ODHA, saling bantu dan menerima curhatan ODHA. Tapi dari sekian banyak aktivitas itu, saya menemukan satu mozaik yang hingga kini masih tersimpul kencang dalam ingatan saya. Kenangan itu saya simpan di laci otak saya untuk sesekali bisa saya buka dan ambil kemudian dibaca sewaktu-waktu. Kenangan yang membuat saya lantas bisa berdiri tegar hingga sekarang. Sebagai tanda bersyukurnya saya, ijinkan saya kembali menceritakan penggalan pengalaman itu pada kalian semua :

Tahun 2010, Saya sedang meniti karier kepenulisan dengan menjadi Tim Kreatif di PH milik H. Deddy MIzwar Citra sinema. Pekerjaan dengan ritme tinggi dan tumpukan deadline tak terbatas membuat hari-hari saya penuh dengan kekacauan yang menyenangkan. Saya mulai menjadi nocturnal dan nyaris selalu menulis tanpa jeda yang jelas. Hari-hari adalah waktu yang memadat tanpa libur yang nyata. Saya terjebak dalam kerja stripping dan bentakan Creative director setiap saat. Meskipun saya bahagia, saya mulai perlahan melupakan ODHA. Perlahan sekali.

Inay yang juga sudah bekerja di KOMNAS Perempuan sebagai Konselor lebih beruntung dari saya. Kesehariannya jelas membuat dia sedikit banyak berinteraksi dengan masalah keperempuanan, salah satunya tentang penyakit HIV/AIDS. Suatu hari di bulan november akhir, dia menelpon saya dan mengajak saya untuk ikut dalam program kantornya di Bandung. Programnya di beri nama " Harta Karun ODHA ". Program itu memfasilitasi para penderita HIV/AIDS untuk berkumpul dan berbagi dan kemudian berbahagia bersama demi kesehatan mereka. Saat Inay menelpon dan mengajak saya sebagai pengisi acara, mendadak kepala saya seperti di jitak. Saya tertegun, sejak saya bekerja tanpa istirahat ini, jiwa saya ternyata sudah sedemikian jauhnya dari mereka. Maka saat itu juga saya mengetik surat cuti dan mengajukannya tanpa peduli pelototan Creative director sebab sinetron kami sedang tayang dan butuh dedikasi saya disitu.

Harta Karun ODHA mengikat saya selama 3 hari di bandung. Saya kembali berkumpul dengan para ODHA. Saya kebagian jatah di session curhat sebagai pembaca surat. Di session itu ODHA akan menuliskan surat dan akan kita baca satu persatu untuk kemudian di bahas keesokan harinya. Siang saat session itu berlangsung, saya duduk di samping ODHA muda berusia 16 tahun. Perempuan manisdengan tubuh sangat kurus dan bermata cekung. Dia sudah 3 tahun mengidap HIV/AIDS. Namanya Gina. belum 5 menit, Gina sudah selesai menulis dan mengangsurkannya pada saya. sementara yang lain masih sibuk menunduk menatap kertas dan bolpoint. saya mengeryit heran, saat saya tanya kenapa dia secepat itu menulis surat, apakah dia tidak ingin menyampaikan keluh kesahnya pada saya, Gina hanya tersenyum dan duduk di sebelah saya. katanya " Gina tidak mau mengeluh kak, tadi Gina hanya menulis Alhamdulillah, karna Gina sudah di beri penyakit ini. Dengan begitu Gina tau kira-kira kapan Gina akan mati dan lebih bisa mempersiapkannya. " Saya mengerjap-ngerjap. seorang anak kecil, dengan cobaan hidup yang tidak terperi begitu, bisa menampakkan kedewasaannya dihadapan saya. Kembali saya seperti dibanting keras, ada rasa malu perlahan-halan nongol di hati saya. KOk bisa, saya yang sehat dan diberi kenikmatan ini masih suka marah dan mengeluh atas cobaan ringan yang hanya seujung kuku dari cobaan yang dialami Gina? KOk bisa??

Dikamar hotel malamnya berdua Inay, saya membaca satu persatu surat itu. Sesenggukan saya menangis tidak berhenti setiap kali mengakhiri satu surat dari mereka. Betapa saya mendapatkan pengalaman hidup luar biasa di sini, betapa saya yang ternyata harus berterimakasih pada mereka karna telah menjadi guru yang baik bagi hidup saya. Betapa hebatnya mereka karena bisa dengan baik memompa semangat mereka kembali untuk tetap survive dengan apapun. Saat itu saya teringat larangan ibu saya ketika saya akan berangkat menemani ODHA yang sedang di rawat di RS Sardjito Jogja. ODHA yang akan saya temui ini sudah mengalami isolasi karena kritis dan sudah koma. Ibu saya memerintahkan saya untuk membatalkan tugas itu akrena khawatir saya tertular. Saya juga ingat begitu banyak teman yang menjauhi saya sebab mereka tau sehari-hari saya bergaul dengan ODHA. mereka mengira suatu hari nanti saya akan tertular virus itu. Saya meringis mengingat itu semua, saya nyeri bukan main dengan minimnya empati di sekeliling saya.

Hari terakhir di bandung, panitia mengadakan acara makan bersama. Disitu tak terlihat perbedaan antara Volunter dan ODHA. kami makan dalam satu meja bersama. Memesan menu bersama dan bercanda bersama. Dalam satu sesi, saya bahkan icap icip es teller dan Ice Cream dengan bertukar makanan para ODHA. dan setelah itu pulang. Saya membawa rasa terimakasih yang begitu besar dari mereka.

Keesokan harinya saya sudah kembali ngantor, pekerjaan yang saya tinggalkan selama 3 hari ternyata sudah menunggu saya bak singa kelaparan. MInta segera di kenyangkan. Saya tenggelam dalam lautan editing naskah yang berjumlah ribuan halaman. Sampai saya tidak menyadari, ada sms masuk ke hp saya. Tengah malam, baru saya sempat membuka pesan-pesan yang masuk. Dari sekian banyak pesan yang masuk, saya tertegun pada satu pesan yang berasal dari nomor tak dikenal.

Mbak, terimakasih sudah membangkitkan kepercayaan diri saya. Terimakasih sudah mau memakan ice cream dari sendok yang sama dengan saya. Hani juga menitipkan pesan mengucapkan terimakasih karna mau dan tidak jijik menyeruput Es Jeruk dari sedotan yang sama dengan Hani. Terimakasih telah membuat kami percaya bahwa kami bukan najis yang harus dibedakan "

Saya melongo. Saya bahkan tidak sadar tadi telah melakukan itu semua. Sejak awal di tahun 2005 saat mendaftar jadi Volunter, kami sudah dibekali ilmu tentang penyakit itu. Saya tau, makan satu sendok dengan mereka tidak akan membuat saya tertular. dan saking enjoynya kemarin, saya tidak memperhatikan apa yang saya lakukan ternyata begitu berpengaruh besar terhadap mereka. Sms itu masih saya simpan di hati saya sampai sekarang. Saya sering mengingatnya untuk menyemangati diri sendiri. Tidak ada yang lebih bermakna dari hidup yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Terimakasih ODHA, terimakasih sudah memberi saya begitu banyak pelajaran. Tetap kuat dan semangat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar