Rabu, 29 Agustus 2012

Mimpi dan air mata perempuan ikal ( By. Ade Riyan Purnama )



Hidup adalah mimpi dan air mata, entah darimana mimpi itu berasal ketika kupejamkan mata. Alamatnya pun aku tak tahu dimana ?, namun dalam mimpiku selalu tergambar sketsa pertunjukan-pertunjukan teater, drama, musikal dan prosa. Aku bersinggah menapak langkah menuju Perancis, Roma , Italia dan terdampar di kota Verona. 

Kulihat pangeran tampan itu, yah.. pangeran itu bernama Romeo. Hatiku pilu ketika menatap matanya. Matanya adalah bias kesetiaan dalam relung yang memahat kasih dan cinta. Aku benar-benar menjiwai peran Juliet,  peran yang ditulis oleh sastrawan besar, William Shakespeare. 

Musim salju mengiringi violet dan petikan string akustik menambah gerabah harmoni musikalisasi sementara burung-burung gereja mendera patah ketika menjadi saksi kisah cinta kesetiaan dua manusia. Diluar sana  kulihat perlahan jatuh daun-daun rindang di senja basah menatap Juliet yang menancapkan belati setelah melihat kekasihnya meminum racun untuk menggapai cinta sehidup semati dalam pandangan hakiki. 

Air mata penonton mengalir deras terbawa prosa cinta menembus aliran darah membasuh derai menyaksikan tertutupnya tirai kesetian cinta bersama tirai pertunjukkan yang telah usai. Namun, tiba-tiba aku kehilangan arah, alamat mimpi itu hilang dan aku terbangun membuka mata.

Huh.., mentari meninggalkan alamat mimpi itu, mengapa kau tak setia kepada bulan ? yang kuinginkan adalah bulan yang dapat mengantarkanku kepada alamat mimpi dan mengajarkan kesetiaan dari perisai bintang yang  menjadi pengorbanan. Mungkin terlalu sukar sepertinya mentari mengajarkan kesetiaan karena menjelang petang panasnya membakar naluri tentang kesetiaan cinta murni yang kuberikan pada seorang laki-laki.

Untuk kesekian kalinya mata ini memberi misteri, ternyata ia memberi alamat lagi yang tak kupahami. Yang pertama adalah mimpi yang belum kutemukan alamatnya bersambut air mata yang tak kumengerti asal mata airnya huh..!

Teman-temanku dikampus memanggil akrab namaku Ikal dan aku telah menjalin tali kasih dengan salah seorang kakak kelas dua tahun diatasku yang bernama Romi. Romi adalah Romeoku ketika sang mentari menghadapkan wajahnya menenggelamkanku dalam nyata. Sulit membedakan antara Romeo dalam mimpi dan Romi yang menjelma menjadi Romeo di alam nyata karena semua berawal dari mata. 

Aku bertemu dengan Romeoku dalam mata terpejam dan aku berjumpa Romi dengan mata yang tak bicara. Aku dan Romi merajut kasih seperti awan putih yang membuat teduh ketika menyambut mentari dan penghias malam ketika sang bulan datang. Rasa yang berjuta warna kuserahkan utuh hanya untuk Romi karena ia adalah jawaban dari segala resah dan lelah.

Aku dan Romi melewati hari-hari bersama dalam titian jemari yang menyapa. Burung-burung gereja pun hinggap menghias bias kaca-kaca kampus yang menjulang tajam dan dalam setiap bulan kami mengelap artefak janji setia dimana pernah mengukir janji cinta pertama.

Hidupku seperti berada di puncak mandalawangi, kawah-kawah menyapa lembut dan embun pun mengedipkan restu lewat tetesnya. Sampai suatu ketika romi menyakinkan ibuku untuk memperbolehkan aku tinggal mengekost yang jaraknya berdekatan dengan  kampus. Akhirnya ibuku mengizinkannya karena romi berjanji akan menjagaku dengan tanggung jawab putih tulang sum-sumnya.

Seperti biasa hari ini mentari membuka wajahnya tapi hari ini tak kulihat burung gereja yang menyapa. Burung-burung camar berlalu-lalang seolah-olah memberikan isyarat. Aku teringat romi, akhir-akhir ini ada yang berbeda dengannya. Ritual membersihkan artefak janji cinta pertama setiap bulannya pun ia lupa. Pikiran ini seperti memasuki hutan rimba. Banyak arah yang harus kuperhatikan agar tak salah melangkah. Gelisah ini menusuk tajam dalam pertanyaan-pertanyaan bergema. Haruskah aku curiga terhadapnya atau ada wanita lain dihatinya? Aku mencoba tetap berjalan pada poros cinta janji setia karena hati ini telah kuserahkan seutuhnya dalam berjuta warna.

Kin dikampus aku hanya berteman bunga-bunga yang dihiasi kupu-kupu. Tak ada lagi romi yang meyapa jemariku yang membuat teduh disaat mentari mengeluarkan panasnya.

Setelah aku pulang dari kampus, tidak biasanya burung-burung camar berlalu-lalang melintas dikaca-kaca gedung aula.  Perlahan kutapaki jalan menuju kostsan tempat dimana merebah menyambut bulan. Tiba-tiba kulihat romi sedang duduk diatas tangga kedua bersama dengan wanita yang tak asing rupanya. Autofokus mataku membidik rapuh, ketika mendengar mereka  bicara tentang burung merpati dan rasa.

Mataku berkaca-kaca namun tak kubiarkan bias airnya turun di depan mereka. Romi pun tersentak kaget ketika melihat kedatanganku yang sedang bercerita mesra dengan leli teman sebelah kost kamarku. Romi datang menghampiriku bercerita tentang kamuflase logika buaya. Akhirnya, ia putuskan untuk merobek tali kasih yang telah kurajut dengannya karena ia berpapar tak bisa menjadi romeoku di alam nyata dan ia lebih memilih leli teman sebelah kost kamarku  menjadi tambatan hatinya. 

Romi telah memecahkan artefak janji setia, awan putih pun berubah menjadi mendung abu-abu mengurai hujan bercampur rinai. Burung gereja kehilangan cuitnya tak mampu lagi berkicau karena sayapnya patah.

Bulan kini tak nampak, hanya ada petir mengusik balada mimpi. Mentari kulihat gelap karena wajahnya tertutup cemara. Hati ini tinggallah nama, hanya gelap yang ada karena hati sejuta warna telah kuserahkan padanya .

Aku gila …
Aku tak lagi percaya dengan mata, mata yang membawa indah pada mimpi dan mata yang membawa teduh ketika memandang romi dalam mata tak bicara. Kini aku hanya  punya hati yang tak bermata. Dikampus pun tak kulihat lagi burung-burung gereja dan tak ada lagi taman-taman bunga bias kaca tatanan rasa.

A…k…u… gila ……

Ha… ha… ha… aku berteriak sekencang-kencangnya di depan mahasiswa-mahasiswa baru. Aku koyak-koyakkan  kursi yang sengaja mereka letakkan di depan kelas itu.

A…k…u…  gi..la…..

Aku semakin gila dan membabi buta mengacak-ngacak ikal rambutku seperti orang gila.

A…k...u… gi..la…

Aku tertawa sekencang-kencangnya ha….ha….ha…

Mahasiswa-mahasiswa itupun semakin takut, kecut dan mencekam. Kemudian berakhir pada semarak tepukan tangan semua mahasiswa-mahasiswa baru serta mahasiswa lama karena aku berhasil mempertunjukkan teater dan mempromosikan teater kepada mahasiswa-mahasiswa baru.

Aku menjadi aktor utama sekaligus sutradara dalam pertunjukkan tersebut. Teater dapat menghipnotisku melupakan romi setelah 3 tahun lamanya dan rasa sakit hatiku yang mendalam. Hingga akhirnya kutemukan esensi hidup tentang mengolah rasa dan kata karena pada hakekatnya dunia hanya panggung sandiwara dan kita adalah aktor-aktornya yang berasa didalamnya. Biarlah romi menghilang dengan cintanya dan aku telah kembali mewarnai hati dengan kanvas kehidupan melalui “seni “ untuk keliling dunia hingga kutemukan alamat tentang mimpi yang tak tahu darimana asalnya.


Wahai mata
Mimpi itu masih di alamat kan ?
Aku sedang melangkah menuju kesana
Semoga tak ada lagi air mata
Yang membasuh deras kedua mata

Tentang mimpi dan air mata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar