Ini masih pagi, dan saya udah nyaris menandaskan dua gelas kopi hitam cuma gara-gara lidah nyecap-nyecap gak karuan. Kambing hitam dari segala macam bentuk makian akan ketikdakmampuan saya untuk bertahan hidup dalam kubangan Insomniers adalah kopi. dan dalam semesta saya, kopi selalu tampil cantik setiap kali di hidangkan. membuat saya ingin selalu menyeruputnya tanpa sisa. tanpa ampun.
Tapi postingan kali ini saya gak membicarakan kopi. saya ingin membicarakan masalah cita-cita. impian. harapan. mari kita mulai.
Saya dulu penari. Oke. Stop. Don't laughing it. tapi serius. saya dulu penari. terlepas dari sekarang saya berhijab dan menutup tubuh saya rapet-rapet, saya ini mantan penari. penari apapun. saya dipersiapkan untuk jadi penari. bukan penari biasa. sampai sekarang saya masih menguasai tari tradisional daerah Indonesia, kontemporer dan modern. tak cukup sampai disitu, saya penari.bukan sekedar menari. tapi penari. saya dibekali ilmu pengetahuan merawat kulit dan tubuh. dibekali dengan anggah-ungguh sebagai penari profesional, di jejali dengan tata krama yang santun sebagai ambasador keluwesan liukan tubuh. saya dulu penari. sekarang tidak.
Pagi tadi, ayah saya mamerin foto anak perempuan saya yang sedang belajar tari. Anak saya itu suka menggambar. saya dulu penari, dan pagi tadi saya melihat anak saya menari melalui foto ayah saya. sudahkah kalian temukan jalinan embrio yang menyusun jalur merah di kenyataan ini? jika belum, silahkan baca paragraf selanjutnya.
kenapa saya sekarang tak menari lagi? Saya malu membuka aurat saya. memamerkan lekukan dengan gerakan yang disengaja. Tarian memang indah, tapi saya mau menari di surga saja besok. jadi, saya berhenti menari karna memang ingin berhenti. tak ada tragedi dahsyat selain rasa malu saya sendiri yang menghentikan saya menari.
Anak saya luwes dalam menari. kebayang dong gimana happy nya saya. tapi sekali lagi, saya tau bahkan mungkin lebih tau dari siapapun bahwa anak saya lebih suka menggambar. saya gak mau, dia akhirnya jadi penari karna merasa harus melanjutkan cita-cita saya yang memang saya padamkan dengan sekam sendiri. saya ingin anak saya menjalani hidupnya sendiri. menjalani mimpinya sendiri. jadi pelukis atau penari, terserah dia.
saya memang orang tuanya, wajib mengarahkannya. tapi saya tak ada keinginan untuk memaksanya. bahkan untuk mengarahkannya pun saya ingin dia mengalir dengan sendirinya. terlalu membebaskan? ah, saya rasa tidak. anak saya memiliki pola pikir terkonsep yang baik. sejak kecil diamemang terlatih untuk menentukan segalanya dengan independent. apa ini tidak terlalu pagi untuk seorang gadis kecil berusia 4,5 tahun? jelas tidak. pola pikir dibentuk sejak manusia mulai berfikir. bahkan pola pikir yang terbentuk sejak masih anak-anak akan sangat berpengaruh bagi perkembangannya kelak ketika dewasa. Indonesia, terlalu mengkotakkan pera orang tua hingga akhirnya justru menjadikan orang tua seperti dewa yang berhak mengatur hidup anaknya. salah kaprah.
jadi, tadi setelah saya liat foto anak saya yang sedang berlatih tari, saya langsung telpon dia. saya pastikan dia bahagia dengan kegiatannya. saya lupa persisnya seperti apa obrolan kami.
saya : " kamu abis latian nari ya Ai?"
Airin : " Iya mah."
Saya : " Suka? "
Airin : " biasa aja."
Saya : " Lebih suka mana sama gambar?"
Airin : " Ya gambar dong."
Saya :" Latian narinya buat apa sih?"
Airin : " gak tau uh bu guru yang suruh."
saya diam. pelan menutup pembicaraan. setelah itu hati saya terbahak. Anak saya tak ingin jadi penari. saya tau itu. dan saya tak ingin anak saya melakukan hal yang tak dia sukai meski semua orang mengatakan dia mampu melakukannya.
oh iya, jadi pacar saya itu penulis juga. suka sekali menulis. maka sejak hari ini dia saya tahbiskan jadi pengisi tetap di blog saya ini. maka jika ada penulis lain yang mampir nulis di sini, maka itu memang pacar saya, bukan orang iseng yang nge hack pasword blog. oke temans. selamat siang. selamat jatuh cinta bagi yang sedang jatuh cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar