Saya punya teman yang deket banget. Saya manggil dia “abang”. Profil abang ini
lumayan unik. Dia jurnalis, mantan aktivis, cerdas, face ada di angka 7 dari
skala 3-9, multy talent, enak diajak ngobrol dan banyak lagi. Jaman dulu, waktu
kita sama-sama masih muda saya sama dia nyaris ‘pacaran’. Kenapa saya bilang
nyaris, karna saya hampir aja masuk kedalam jebakan cinta yang dia umbar kemana-mana.
Jebakan? Oke, disini cerita akan dimulai.
Saya dan Abang kenal tahun 1998. Waktu itu saya masih SMP
dan unyu-unyu banget. Abang ini orang Sukabumi yang merantau ke Purwokerto.
Sepupu saya tetanggaan sama dia. Jadilah saya kenal dia dan deket. Seperti
profil yang saya jelaskan di alinea sebelumnya, Abang jelas sosok yang menarik. Saya jelas merasa
punya 'sesuatu' kalo ada dideket dia. Tapi syukur saya menyadari ada yang gak
asyik dari pribadinya : Dia suka ngumbar hati kemana-mana. Gagal deketin saya
dia deketin sepupu saya. Sejak saat itu saya menganggap dia abang, kakak
lelaki. Tak lebih. Saya enggan pake hati
ketika berhubungan dengannya. Karna saya tau resiko nya, saya tak ingin
terjebak dalam romantika perasaan yang diumbar kemana-mana. Hingga saat ini.
Sampe sekarang saya dan Abang masih berkomunikasi dengan
sangat baik. Kita akhirnya justru saling mendukung. Dalam kebaikan dan
keburukan. Hahahaha. Artinya, Abang itu bisa dijadikan teman dalam segala hal.
Waktu saya nangis, waktu saya happy, bahkan waktu saya pengen jadi gila
gara-gara di selingkuhin pacar. Abang ada dan kasih support dengan baik. Saya
juga mencoba begitu, saya ingin ada ketika Abang merasa membutuhkan saya.
Bahkan disaat orang lain mengecam dan membencinya.
Nah, beberapa hari yang lalu, Abang mendadak galau dan
mellow. Dia yang awalnya gak pernah buka twitter mendadak menyapa saya di
Timeline. Yang gak pernah aktivin Fb mendadak ngirim saya privat message ( Abang punya semua account jejaring sosial, tapi nyaris tak pernah mengaktivkannya dalam konsep hubungan bilateral.) Saya
tau ada yang gak beres. Tapi saya gak mau mendahului. Saya ingin Abang yang
menceritakan problem nya sendiri tanpa saya bertanya. Bukan saya gak peduli,
tapi justru karna saya mau Abang tau bahwa saya memberinya ruang untuk
bernafas. Untuk menghela dan mengumpulkan tenaga setelah lelah.
Abang ada masalah pribadi. Saya tak ingin menginvansi nya
sampai dia membuka pintu dan mempersilahkan saya masuk. Tapi sebelum Abang
cerita, saya mencoba memahami, mempelajari kegelisahannya yang kebetulan ada di
status Fb nya. Buat saya ini amazing. Pria seperti Abang jelas pelan dan tak
terburu-buru dalam bersikap. Ketika saya lihat statusnya, saya menyadari banyak
hal yang berubah. Abang mendadak frontal dan ekstrovert. Mengumbar masalahnya
di jejaring social. Ada apa? Saya jengah. Ini jelas masalah pelik. Dan saya tak
ingin terlambat menyikapinya. Akhirnya saya hubungi dia, mencoba membuka pintu
ruang privatnya. Dan mengalirlah segala yang dia rasakan. Masalah pelik yang
saya tau jelas bukan hal yang mudah untuk dilewati oleh siapapun.
Penyakit lama Abang kambuh di tengah harmonis rumah
tangganya. Abang sudah menikah dan punya anak perempuan. Tapi Abang bermain
api. Lagi-lagi, mengumbar hati ke banyak perempuan. Dan sialnya, istri Abang
mendapati kenyataan itu, mempermasalahkannya dengan sangat akut, ibarat orang
sakit keadaan Rumah tangga Abang udah masuk skala ruang ICCU. Koma. Sekarat. Antara
hidup dan mati. Dan istrinya memilih mati. Meninggalkan Abang yang menyesal
begitu dalam. Meratapi kebodohannya karna mengecewakan istri dan anaknya. Talak
jatuh dan Abang meraung dalam status single tapi duda nya. Saya prihatin, tapi
tak tau harus bagaimana.
Beberapa kali kami telponan, Abang banyak bercerita tentang
kondisinya. Tentang bagaimana kronologis berakhirnya rumah tangga mereka.
Bagaimana Abang mencoba mempertahankan hubungan dengan sang istri. Awalnya,
saya jelas memposisikan diri sebagai perempuan. Saya marahi Abang, saya
salahkan dia. Saya menyebutnya brengsek,bajingan dan banyak umpatan lain. Itu
hal biasa bagi kami. Saya dan Abang memang selalu mencoba berkomunikasi dengan
jujur, meski itu jahat sekalipun. Bagaimana mungkin saya membiarkan Abang
terperosok dalam hal memalukan macam begini, bercerai dari istrinya hanya
karena dia main api dengan perempuan lain. Di permalukan oleh sang istri hanya
karena kepergok bermesraan dengan wanita yang bukan hak nya. Saya jelas marah.
Saya jelas mengumpat.
Sampai kemudian sesi obrolan mengalir kembali. Pada curhatan
yang kedua saya mulai menemukan formula yang berbeda. Saya memandang masalah Abang dari sisi agama. Saya Islam. Dan agama saya jelas memposisikan perempuan
dengan sangat mulia. Artinya, kesakitan yang dirasakan istri Abang jelas akan
menjadi salah satu alasan Abang terhenti lama di yaumul hisab kelak. Tapi ada
yang tak boleh dilewatkan, yaitu posisi perempuan sebagai istri. Itu bukan
posisi becandaan. Perempuan akan masuk dalam ranah mulia ketika menjadi istri.
Tapi bukan sembarang istri, mulia adalah baik. Jadi, muliakan dirimu dengan
jadi istri yang baik. Seburuk apapun suamimu, tetaplah jadi istri yang baik.
Selamatkan surga mu sendiri.
Salah satu syarat jadi istri yang baik adalah dengan
menutupi aib suaminya. Oke !! mungkin ini menyakitkan. Menyebalkan dan
mengenaskan. Mana ada perempuan yang mau di duakan. Saya pun tak ingin. Tapi
berkacalah sebelum sibuk dengan kesalahan orang lain. Mau tau cara berkaca
tanpa cermin? Begini : lihatlah apa yang sudah kita lakukan. Artinya begini,
sudahkan istri abang saya itu bertanya pada dirinya sendiri, kenapa abang
sampai tertarik pada perempuan lain? Kurang merikkah dirinya? Apa yang abang
dapatkan dari perempuan itu? Apa yang abang cari dari istrinya dan tak mampu
dipenuhi hingga harus mencari dari perempuan lain. Oke. Oke. Mungkin seharusnya
abang bisa menerima kekurangan istri dengan mencoba bersabar tanpa mencari dari
perempuan lain. Tapi sudahkan sang istri berusaha untuk jadi yang terbaik? Saya
sendiri gak pernah tau. Tapi alangkah baiknya jika keduanya saling berkaca?
Tanpa perlu menghujat dan menyalahkan.
Abang saya kelimpungan. Dia stress dan mencoba bertahan
dengan masalah yang menurutnya berat sekali. Saya sebel dong. Gimanapun saya
gak suka lihat abang jadi selemah ini. Saya pengen banget bilang “ woi bang,
dari dulu elo tuh player. Kalo ilang satu, cari yang lain.” Tapi kok kesannya
saya jahat banget ya sebagai perempuan. saya kok dzalim ya sama istrinya. Saya
emang ngerasa abang itu salah, patut di kasih pelajaran tapi ya gak gini-gini
amat. Setelah menikah, perempuan punya mandataris langsung ke suaminya. Bahkan
orang tuapun harus di nafikan. Itu kalo di agama saya sih ya. Gak tau di agama
istri abang saya. Jadi saya agak mengerutkan kening waktu denger dia begitu
berani menghujat abang saya di depan umum, bahkan membuka aib suaminya sendiri.
Oh No !! betapapun sakitnya hati si perempuan, jangan lah kau buat marah
suamimu. Jangan lah kau hancurkan surga mu sendiri dengan menjadi durhaka pada
suami.
Seharusnya abang saya superior. Dia layak kok untuk membela
dirinya sendiri. Dia salah. Rite!! Dia harus dihukum, Yes Alrigth!! Tapi dia
gak pantas untuk dihujat sampai sebegini jatuhnya. Abang saya manusia, terlebih
dia lelaki, dia seorang suami !! dia yang akan dihisab paling akhir kelak di
hari penghitungan. Bahkan ketika istri dan anaknya udah ongkang-ongkang kaki di
surga, abang saya masih ditanya-tanya tentang kelakuan keluarganya. SO???
Tanggung jawabnya yang seberat itu, seharusnya diimbangi dengan dukungan baik
dari istri dan anaknya. Surga ditelapak kaki ibu yang notabene adalah perempuan
dan seorang istri. Tapi jangan takabur dengan merasa sudah punya surga sendiri
di telapak kakinya, lantas jadi semau gue dan merasa paling berhak untuk
menghukum. Perempuan memang punya surga, tapi kuncinya ada di lelaki, di suami
!! jalannya, ada di anak. Artinya apa saudara? Satu keluarga itu gak bisa
lenggang kangkung sendiri buat jalan ke surga. Harus kompak. Kerja sama buat
menuju ke sana. Paham gak sih itu istri si abang?
Oke. Saya puas memaki. Saya agak emosi yaa temans. Merasa
aneh sendiri mendapati ada ya orang yang sebegitu pintarnya untuk berbuat keji
dengan berlindung dibalik kesalahan dan dosa orang lain. Saya sendiri manusia,
banyak salah, banyak lupa. Karna itu saya merasa, sakit hati si istri abang itu
lebih ke rasa berlebihan yang dikuasai setan. Suaminya selingkuh, udah dihukum
dan udah minta maaf. Terus apa lagi? Mau di gimanain lagi? Sakit hati dan
kecewa bukan alasan kita bisa menghukum pelaku dengan seenaknya sendiri.
Batasan itu ada. Harus ada. Cuma Tuhan yang pantas menghukum abang saya sampe
kulit dan tulangnya. Tak ada siapapun yang berhak lagi. Bahkan istrinya
sendiri. Salam laper.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar