Selasa, 14 Agustus 2012

Abang Ku sayang Abang ku malang.


Saya punya teman yang deket banget.  Saya manggil dia “abang”. Profil abang ini lumayan unik. Dia jurnalis, mantan aktivis, cerdas, face ada di angka 7 dari skala 3-9, multy talent, enak diajak ngobrol dan banyak lagi. Jaman dulu, waktu kita sama-sama masih muda saya sama dia nyaris ‘pacaran’. Kenapa saya bilang nyaris, karna saya hampir aja masuk kedalam jebakan cinta yang dia umbar kemana-mana. Jebakan? Oke, disini cerita akan dimulai.

Saya dan Abang kenal tahun 1998. Waktu itu saya masih SMP dan unyu-unyu banget. Abang ini orang Sukabumi yang merantau ke Purwokerto. Sepupu saya tetanggaan sama dia. Jadilah saya kenal dia dan deket. Seperti profil yang saya jelaskan di alinea sebelumnya, Abang  jelas sosok yang menarik. Saya jelas merasa punya 'sesuatu' kalo ada dideket dia. Tapi syukur saya menyadari ada yang gak asyik dari pribadinya : Dia suka ngumbar hati kemana-mana. Gagal deketin saya dia deketin sepupu saya. Sejak saat itu saya menganggap dia abang, kakak lelaki. Tak lebih.  Saya enggan pake hati ketika berhubungan dengannya. Karna saya tau resiko nya, saya tak ingin terjebak dalam romantika perasaan yang diumbar kemana-mana. Hingga saat ini.

Sampe sekarang saya dan Abang masih berkomunikasi dengan sangat baik. Kita akhirnya justru saling mendukung. Dalam kebaikan dan keburukan. Hahahaha. Artinya, Abang itu bisa dijadikan teman dalam segala hal. Waktu saya nangis, waktu saya happy, bahkan waktu saya pengen jadi gila gara-gara di selingkuhin pacar. Abang ada dan kasih support dengan baik. Saya juga mencoba begitu, saya ingin ada ketika Abang merasa membutuhkan saya. Bahkan disaat orang lain mengecam dan membencinya.

Nah, beberapa hari yang lalu, Abang mendadak galau dan mellow. Dia yang awalnya gak pernah buka twitter mendadak menyapa saya di Timeline. Yang gak pernah aktivin Fb mendadak ngirim saya privat message ( Abang punya semua account jejaring sosial, tapi nyaris tak pernah mengaktivkannya dalam konsep hubungan bilateral.) Saya tau ada yang gak beres. Tapi saya gak mau mendahului. Saya ingin Abang yang menceritakan problem nya sendiri tanpa saya bertanya. Bukan saya gak peduli, tapi justru karna saya mau Abang tau bahwa saya memberinya ruang untuk bernafas. Untuk menghela dan mengumpulkan tenaga setelah lelah.

Abang ada masalah pribadi. Saya tak ingin menginvansi nya sampai dia membuka pintu dan mempersilahkan saya masuk. Tapi sebelum Abang cerita, saya mencoba memahami, mempelajari kegelisahannya yang kebetulan ada di status Fb nya. Buat saya ini amazing. Pria seperti Abang jelas pelan dan tak terburu-buru dalam bersikap. Ketika saya lihat statusnya, saya menyadari banyak hal yang berubah. Abang mendadak frontal dan ekstrovert. Mengumbar masalahnya di jejaring social. Ada apa? Saya jengah. Ini jelas masalah pelik. Dan saya tak ingin terlambat menyikapinya. Akhirnya saya hubungi dia, mencoba membuka pintu ruang privatnya. Dan mengalirlah segala yang dia rasakan. Masalah pelik yang saya tau jelas bukan hal yang mudah untuk dilewati oleh siapapun.

Penyakit lama Abang kambuh di tengah harmonis rumah tangganya. Abang sudah menikah dan punya anak perempuan. Tapi Abang bermain api. Lagi-lagi, mengumbar hati ke banyak perempuan. Dan sialnya, istri Abang mendapati kenyataan itu, mempermasalahkannya dengan sangat akut, ibarat orang sakit keadaan Rumah tangga Abang udah masuk skala ruang ICCU. Koma. Sekarat. Antara hidup dan mati. Dan istrinya memilih mati. Meninggalkan Abang yang menyesal begitu dalam. Meratapi kebodohannya karna mengecewakan istri dan anaknya. Talak jatuh dan Abang meraung dalam status single tapi duda nya. Saya prihatin, tapi tak tau harus bagaimana.

Beberapa kali kami telponan, Abang banyak bercerita tentang kondisinya. Tentang bagaimana kronologis berakhirnya rumah tangga mereka. Bagaimana Abang mencoba mempertahankan hubungan dengan sang istri. Awalnya, saya jelas memposisikan diri sebagai perempuan. Saya marahi Abang, saya salahkan dia. Saya menyebutnya brengsek,bajingan dan banyak umpatan lain. Itu hal biasa bagi kami. Saya dan Abang memang selalu mencoba berkomunikasi dengan jujur, meski itu jahat sekalipun. Bagaimana mungkin saya membiarkan Abang terperosok dalam hal memalukan macam begini, bercerai dari istrinya hanya karena dia main api dengan perempuan lain. Di permalukan oleh sang istri hanya karena kepergok bermesraan dengan wanita yang bukan hak nya. Saya jelas marah. Saya jelas mengumpat.

Sampai kemudian sesi obrolan mengalir kembali. Pada curhatan yang kedua saya mulai menemukan formula yang berbeda. Saya memandang masalah Abang dari sisi agama. Saya Islam. Dan agama saya jelas memposisikan perempuan dengan sangat mulia. Artinya, kesakitan yang dirasakan istri Abang jelas akan menjadi salah satu alasan Abang terhenti lama di yaumul hisab kelak. Tapi ada yang tak boleh dilewatkan, yaitu posisi perempuan sebagai istri. Itu bukan posisi becandaan. Perempuan akan masuk dalam ranah mulia ketika menjadi istri. Tapi bukan sembarang istri, mulia adalah baik. Jadi, muliakan dirimu dengan jadi istri yang baik. Seburuk apapun suamimu, tetaplah jadi istri yang baik. Selamatkan surga mu sendiri.

Salah satu syarat jadi istri yang baik adalah dengan menutupi aib suaminya. Oke !! mungkin ini menyakitkan. Menyebalkan dan mengenaskan. Mana ada perempuan yang mau di duakan. Saya pun tak ingin. Tapi berkacalah sebelum sibuk dengan kesalahan orang lain. Mau tau cara berkaca tanpa cermin? Begini : lihatlah apa yang sudah kita lakukan. Artinya begini, sudahkan istri abang saya itu bertanya pada dirinya sendiri, kenapa abang sampai tertarik pada perempuan lain? Kurang merikkah dirinya? Apa yang abang dapatkan dari perempuan itu? Apa yang abang cari dari istrinya dan tak mampu dipenuhi hingga harus mencari dari perempuan lain. Oke. Oke. Mungkin seharusnya abang bisa menerima kekurangan istri dengan mencoba bersabar tanpa mencari dari perempuan lain. Tapi sudahkan sang istri berusaha untuk jadi yang terbaik? Saya sendiri gak pernah tau. Tapi alangkah baiknya jika keduanya saling berkaca? Tanpa perlu menghujat dan menyalahkan.

Abang saya kelimpungan. Dia stress dan mencoba bertahan dengan masalah yang menurutnya berat sekali. Saya sebel dong. Gimanapun saya gak suka lihat abang jadi selemah ini. Saya pengen banget bilang “ woi bang, dari dulu elo tuh player. Kalo ilang satu, cari yang lain.” Tapi kok kesannya saya jahat banget ya sebagai perempuan. saya kok dzalim ya sama istrinya. Saya emang ngerasa abang itu salah, patut di kasih pelajaran tapi ya gak gini-gini amat. Setelah menikah, perempuan punya mandataris langsung ke suaminya. Bahkan orang tuapun harus di nafikan. Itu kalo di agama saya sih ya. Gak tau di agama istri abang saya. Jadi saya agak mengerutkan kening waktu denger dia begitu berani menghujat abang saya di depan umum, bahkan membuka aib suaminya sendiri. Oh No !! betapapun sakitnya hati si perempuan, jangan lah kau buat marah suamimu. Jangan lah kau hancurkan surga mu sendiri dengan menjadi durhaka pada suami.

Seharusnya abang saya superior. Dia layak kok untuk membela dirinya sendiri. Dia salah. Rite!! Dia harus dihukum, Yes Alrigth!! Tapi dia gak pantas untuk dihujat sampai sebegini jatuhnya. Abang saya manusia, terlebih dia lelaki, dia seorang suami !! dia yang akan dihisab paling akhir kelak di hari penghitungan. Bahkan ketika istri dan anaknya udah ongkang-ongkang kaki di surga, abang saya masih ditanya-tanya tentang kelakuan keluarganya. SO??? Tanggung jawabnya yang seberat itu, seharusnya diimbangi dengan dukungan baik dari istri dan anaknya. Surga ditelapak kaki ibu yang notabene adalah perempuan dan seorang istri. Tapi jangan takabur dengan merasa sudah punya surga sendiri di telapak kakinya, lantas jadi semau gue dan merasa paling berhak untuk menghukum. Perempuan memang punya surga, tapi kuncinya ada di lelaki, di suami !! jalannya, ada di anak. Artinya apa saudara? Satu keluarga itu gak bisa lenggang kangkung sendiri buat jalan ke surga. Harus kompak. Kerja sama buat menuju ke sana. Paham gak sih itu istri si abang?

Oke. Saya puas memaki. Saya agak emosi yaa temans. Merasa aneh sendiri mendapati ada ya orang yang sebegitu pintarnya untuk berbuat keji dengan berlindung dibalik kesalahan dan dosa orang lain. Saya sendiri manusia, banyak salah, banyak lupa. Karna itu saya merasa, sakit hati si istri abang itu lebih ke rasa berlebihan yang dikuasai setan. Suaminya selingkuh, udah dihukum dan udah minta maaf. Terus apa lagi? Mau di gimanain lagi? Sakit hati dan kecewa bukan alasan kita bisa menghukum pelaku dengan seenaknya sendiri. Batasan itu ada. Harus ada. Cuma Tuhan yang pantas menghukum abang saya sampe kulit dan tulangnya. Tak ada siapapun yang berhak lagi. Bahkan istrinya sendiri. Salam laper.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar