Minggu, 20 Januari 2013

Bukan Banjir Biasa.

Sejak kamis, Jakarta direndam air. Ini bukan sembarang air. Bukan juga iseng-iseng fatamorgana. Tapi ini air yang datang tanpa diminta, tanpa permisi. Jakarta kebanjiran.

Beberapa daerah yang terendam air membuat hati trenyuh. sebut saja kampung melayu yang memang setiap tahunnya jadi langganan dikunjungi dewa Posheidon itu. Atau kawasan Grogol yang bisa buat main selancar para turis karna debit airnya yang luar biasa. Dan juga Pluit. Daerah yang satu ini, letak dimana hati saya tertambat. Hidup saya terpancang. Pluit adalah daerah asal Mas Riyan. Yang kini juga jadi rumah saya, rumah hati saya sepenuhnya.

Kamis pagi air masuk kedalam rumah mas Riyan setinggi mata kaki, waktu membuatnya semakin subur. Air meningkat pesat hingga sedada orang dewasa. Listrik mati dan saya kehilangan kontak dengannya.

Mas Riyan adalah pria yang luar biasa hatinya. Bagi saya dia bukan sekedar pecinta yang serius, tapi dia adalah pria yang memang Tuhan ciptakan nyaris tanpa cacat. Hidupnya penuh dengan perjuangan, dan banjir, kembali membuktikan itu.

Sejak kamis hingga sabtu, saya sulit berkomunikasi dengan mas Riyan. sekalipun bisa, saya harus memaksa dia mencari daerah terdekat yang memiliki sambungan listrik untuk me- charge hp nya. dan mencari dalam gulita juga debit air yang tinggi jelas merupakan hal sulit. Saya nelangsa, setiap kali mas Riyan telpon dan berkata dia sengaja berjalan jauh hanya demi mendapatkan satu strip batere di hpnya guna menelpon saya. Romantisme saya saling bertabrakan, antara ingin membiarkan dia tanpa kabar atau memaksanya berjalan untuk memberi kabar.

Sampai sabtu sore hari, akhirnya dia bisa keluar dari banjir dengan berjalan puluhan kilometer dalam debit air yang tinggi hingga bisa bertemu saya. Saat saya melihat dia, saya menyaksikan wajah hector yang lelah. Matanya memang tajam memancarkan semangat, tapi kulitnya makin kusam dan rambutnya berantakan. Saat itu ingin rasanya saya melarang dia kembali ke dalam banjir itu, dan mengikatnya bersama saya. Tapi saya tau, tanggungjawab dan kepeduliannya akan menghalangi saya untuk melakukan itu.

Minggu pagi, saya memaksa ikut mas Riyan menembus air yang belum juga surut di daerah penjaringan, Pluit dalam. Mas Riyan dengan tenang mencoba menahan saya, saya dengan berapi-api memaksa dia membawa sana masuk kedalam. Akhirnya, mengalah dia menuntun saya berjalan masuk kedalam. Saya katakan sekali lagi, BER-JA-LAN. 

Kami mulai memasuki daerah banjir tinggi dari wilayah Tiang bendera Kota tua. Air masih setinggi betis. Saya yang memang sudah tak pernah lagi menggenakan celana panjang, dan beralih pada rok panjang atau gamis-gamis masih bisa berjalan dengan santai. sepatu mulai dilepas demi mengurangi berat beban kaki. Saat itu, air masih bersih. Hati saya masih kokoh. Satu hal yang mas Riyan tanamkan dalam diri saya " Apapun yang terjadi, jangan pernah buka Auratmu." dan saya memegang pesan itu dengan teguh.

Makin masuk kedalam, air mulai merambat naik pelan-pelan. dari betis, kemudian lutut hingga airnya sampai ke perut. Desakan debit air yang makin tinggi, juga kotor dan amisnya air membuat saya mulai pusing. Ketinggian air jelas makin memperlambat langkah saya, yang akhirnya juga memperlambat langkah mas Riyan. Saya hanya berdoa dalam hati, bahwa dalam kondisi ini Tuhan memberikan saya kekuatan tambahan agar saya tak merepotkan mas Riyan. Tapi, kali ini Tuhan tidak mengabulkan doa saya.

Tibalah waktu dimana akhirnya saya jadi oknum yang merepotkan. Saya mulai kesulitan berjalan, nafas mulai memburu alias ngos-ngosan. dan mas Riyan yang menyadari itu menatap saya dengan kasihan. " Mau naik perahu?" , mas Riyan mencoba memberi opsi termudah. Saya mencoba untuk terus menggeleng sementara hati saya mengiyakan. Saya enggan terlihat lemah didepannya.

Pluit dalam keluaran penjaringan adalah tujuan kami. Mas Riyan harus membeli makanan untuk di bawa kedalam, Dan semua itu berantakan karna saya gagal masuk kedaerah yang lebih dalam lagi debit airnya. Saya tidak sanggup. Dan mas Riyan memilih mengantar saya kembali ke tempat semula. Padahal perlu kalian tau, mengantar saya kembali ke tempat semula, sama halnya dengan melawan kesulitan besar ketika kami masuk tadi. Saya lelah, sudah sangat lelah.

Dalam kesulitan itu, mas Riyan mati-matian ingin meringankan beban saya. ketika saya mulai melangkah pelan, dia akan menggengam kuat tangan saya dan menarik halus. Ketika langkah saya terhenti karna tersangkut kotoran, maka dia akan berusaha membebaskan kaki saya dari kotoran tersebut. Ketika saya tidak bisa melopat turun, maka dia akan menggendong saya. Dan dia melakukannya tanpa kesulitan, padahal di tubuhnya sudah tergantung satu tas ransel dan satu tas gendong milik saya.

Banjir, mengajarkan saya banyak hal tentang perjuangan. Mas Riyan menunjukkan pada saya bagaimana dia bisa dengan ikhlas melalui itu semua.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar