Seksualitas
adalah hal yang paling hakiki dari manusia. Manusia diberi kesempurnaan sebagai
mahluk sempurna oleh Tuhan yang diberi nafsu, akal, dan iman. Semuanya menjadi
satu kombinasi yang bergandengan dengan seksualitas.
Dewasa ini
banyak sekali sekolah-sekolah yang
mengadakan edukasi seks. Tujuannya beragam tapi berpusat pada 1 hal:
penyelamatan generasi bangsa dari bahaya
penyakit menular mematikan, HIV/AIDS. Banyak yang bisa dilakukan, salah satunya
dengan pengaman berupa karet elastis yang sering kita kenal dengan “Kondom”.
Ada satu hal
yang kadang luput dari pengamatan kita, bahwa konsep masyarakat dengan norma
yang kini ada membuat kita terkurung dalam jebakan informasi terbatas yang
kemudian berlindung dibalik satu alasan normative, sementara kemajuan jaman
tidak hanya memaksa kita untuk mengikuti kecepatan arus informasi yang datang,
tapi sudah sampai pada taraf mengikutsertakan kita didalamnya. Dunia internet
dengan segala kemudahannya jelas merupakan satu komparasi yang cukup untuk
pengetahuan.
Benar bahwa
sebaiknya hubungan seksualitas dilakukan setelah menikah. Benar pula bahwa kita
tak boleh berganti-ganti pasangan, dan benar bahwa menularnya HIV/AIDS paling
cepat melalui hubungan seks dengan penderita virus tersebut. Dari segala pembenaran
itu, memakai kondom tetap solusi paling tepat dari segala solusi.
Semua orang
punya potensi tertular, entah dia pelaku seks di luar lembaga pernikahan maupun
yang sudah menikah. Entah dia setia pada pasangannya atau yang sering
berganti-ganti pasangan. Potensi itu hanya bisa diminimalisir dengan iman dan
Kondom.
Apakah kondom
hanya digunakan bagi pasangan pelaku seks yang belum menikah ? Apakah kondom di
produksi hanya untuk mereka yang menunda atau mencegah hamil ? Ternyata tidak.
Ada satu motivasi mulia yang kita semua justru tabu membicarakannya. Melindungi
generasi bangsa dari tertularnya virus menular yang menyerang sistim imun kita
tersebut, HIV/AIDS.
Bagi masyarakat,
membicarakan kondom sama artinya dengan membicarakan seks bebas. Menyarankan menggunakan
kondom sama artinya dengan merestui perzinahan. Pola pikir sempit itu akhirnya
menjebak bangsa dalam berfikir serba negative. Lantas bagaimana ? Ya, kita rugi
sendiri dan akhirnya jadi negara terbelakang yang memiliki tingkat penderita
HIV/AIDS di atas rata-rata. Seharusnya tindakan penyelamatan dilandasi dengan
keinginan kuat dari masyarakatnya sendiri.
Padahal kalau
kita mau terbuka sedikit saja, mencoba untuk menyadari bahwa kemajuan
perkembangan jaman jelas membuat generasi dibawah kita lebih cepat menangkap
informasi ketimbang kita dahulu, maka niscaya kita bisa menyelamatkan masa
depan bangsa. Kita tidak mungkin mencegah perkembangan jaman. Internet kini
sudah masuk hingga pelosok. Usia remaja adalah usia dimana rasa ingin tau lebih
besar dari kemampuannya untuk mengolah pengetahuan tersebut. Hingga akhirnya
terciptalah kemudahan mendapat informasi seksualitas tanpa arahan. Disini
pentingnya program seks edukasi yang ironisnya malah dipandang negative olah
para orang tua. Padahal membiarkan anak-anaknya mengetahui informasi
seksualitas tanpa arahan, lebih cepat menjerumuskan anak dalam seks bebas.
Gejolak hormonal
usia remaja berbanding lurus dengan potensi penyebaran virus HIV/AIDS. Orangtua
tidak mungkin bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung. Maka yang harus
dilakukan adalah membekali anak kita dengan iman yang kuat dan kondom pada
dompet mereka. Ini serius. Artinya, bukan kita lantas membiarkan mereka
melakukan seks bebas asal pakai kondom, tapi lebih pada kita upayakan mereka
untuk tidak sembarangan beraktivitas seksual.
Tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah itu baik, sangat baik.Tapi jika itu sudah
teratasi tentunya untuk apa saya repot-repot membuat tulisan ini. Pendapat ini
tertulis karena saya menyadari bahwa iman remaja sebagai tameng ring 1 sudah
tertembus. Maka yang kini masuk wilayah penyelamatan adalah indikasi
terinfeksinya mereka dari virus itu. Lagi-lagi, kondomlah solusinya.
Bisa jadi, jika
kita membekali anak-anak kita dengan kondom, mereka justru takut untuk melakukan
aktivitas tersebut. Bagaimanapun juga mereka akan menyadari mengapa orangtuanya
mau repot memasukkan kondom sebagai barang wajib dalam dompet mereka, semata
agar tak terinfeksi. Minimal itu
mengingatkan mereka bahwa dibalik kenikmatan yang hanya hitungan menit itu, ada
dosa besar yang akan dibayar tunai oleh Tuhan. Salah satunya melalui HIV/AIDS.
Setiap orang
memiliki potensi tertular. Jika diatas saya cerewet untuk membekali remaja
dengan kondom, mulai paragraph ini saya
menempatkan diri untuk menyapa mereka yang telah terinfeksi . Jangan pernah
sedih, para penderita HIV/AIDS bukan monster yang harus dijauhi. Kita dan penderita masih sama-sama manusia.
Hanya saja mereka punya kelebihan untuk mengetahui bahwa mereka dekat kematian.
Mereka hidup untuk menunggu mati, sedang kita hidup karena takut mati. Disitu
mereka adalah orang yang beruntung.
Satu hal yang
pasti dalam hidup adalah kematian. Yang terkena HIV/AIDS akan mati, yang sehat
pun akan mati. Karena itu, kita dan mereka sama sekali tak berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar