Minggu, 07 Agustus 2011

proses aktualisasi

pemikiran jelas adalah buah dari pohon pengalaman yang kita punya. karna itu kadang pemikiran memiliki kemampuan dan wataknya masing-masing. kadang pula pemikiran akhirnya menjadika kita sebuah pribadi yang akan dinilai orang-orang sekitar. percaya atau tidak,pemikiran yang kemudian mendewasakan saya. bukan lingkungan. karna itu saya cukup angkat topi pada yang terhormat rene descrates, yang telah dengan sukses membentuk sebuah idiom " cogito ergo sum - aku berfikir maka aku ada "

ada sebuah pertanyaan : bagaimana cara memasukkan gajah kedalam kulkas.
pertanyaan tersebut akan mendapat tanggapan yang berbeda dari kalangan yang bebeda pula. pemikiran yang telah melewati proses itulah yang membentuk jawaban kita.
seorang bocah yang masih bersekolah di taman kanak-kanak akan dengan polosnya menjawab pertanyaan tersebut : "buka kulkas nya masukin gajaknya, tutup kulkasnya " selesai.
seorang mahasiswa akan menjawab pertanyaan tersebut dengan wajah berkerut sebal : " ukuran kulkasnya segede apa, trus gajahnya brapa umurnya ? " maka pertanyaan tersebut tidak mendapatkan sebuah jawaban, melainkan menimbulkan pertanyaan baru.
seorang pengusaha terkemuka yang telah lulus S3 menjawab dengan muka masam : "pertanyaan bodoh dan membuang waktu "dan pertanyaan itu tidaklah mendapatkan respon apapun melainkan sebuah pernyataan berupa umpatan keji.
PADAHAL, pertanyaan tersebut hanyalah sebuh pertanyaan, kalimat tanya tersebut tidak pernah mengenal ukuran gajah atau ukuran kulkas. pertanyaan tersebut hanya bertanya mengenai sistem, cara. namun tanggapan yang didapat berbeda, sesuai proses kematangan berfikir yang berbeda pula.

ketika saya masih SMU saya memiliki banyak sekali sahabat dari berbagai macam kalangan. mulai dari kaum ekspatriat, kaum nasionalis, muslim, non-muslim, siswa genius, siswa tidak naik kelas, bahkan hingga preman sekolah adalah sahabat saya. saya berteman dengan siapapun, dari kalangan manapun. kedua orang tua saya, yang terkenal dengan sistem demokrasi keluarganya, tetap menerapkan pilihan untuk teman anak-nya. harus begini, harus begitu. kamu tak boleh bergaul dengan si ini karna dia begini, atau jangan berteman dengan si anu karna keluarganya begitu. saya jengah, yang saya rasakan saat itu adalah ketulusan. seorang sahabat saya, preman, bertato full body, pemabuk, bahkan penghisap ganja, namun memiliki hati yang sangat baik, tulus dan begitu melindungi saya jelas lebih saya utamakan ketimbang seorang anak bupati yang tukang pamer dan manja. namun pemikiran saya dan orang tua berbeda kala itu. dan sekarang baru saya mengerti perbedaan tersebut setelah saya menjadi orang tua pula.karna saya sempat melarang anak saya bermain dengan anak tetangga sebelah hanya karna anak tersebut pernah merusakkan mainan kesayangan anak saya yang saya belikan. padahal, anak saya sendiri sudah memaafkan temannya itu. namun tidak untuk saya, dalam benak saya temannya itu adalah anak nakal yang tidak perlu dijadikan teman.

ketika saya masih kuliah, saya sangat menghargai para pengamen jalanan. suara mereka bagus-bagus, kemampuan bermusik mereka juga mengagumkan. dan satu yang membuat saya minder, mereka sudah mampu mencari uang sendiri. ketika itu saya akan dengan mudahnya merogoh kantong dan mengeluarkan lembaran uang 10-20 ribu rupiah demi menikmati 1-3 lagu mereka di angkringan pinggir kampus.namun lain dulu lain sekarang, ketika saya kini telah mampu bekerja sendiri, telah mampu mendapat uang sendiri, kehadiran para pengamen itu sedikit menusuk telinga saya. kemudian saya malas memberi uang lebih dari 2000 karna saya merasa berat mengeluarkan uang pribadi demi mereka ( para pengamen tersebut ) yang saya anggap malas dan pemabuk. saya kemudian makin jarang memberi mereka rupiah karna saya takut penggunaan uang tersebut untuk hal yang tidak baik, seperti mabuk atau berjudi. otak saya mengubah pendapat saya hanya dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 tahun dalam peristiwa yang sama.

kemudian saya berfikir lagi, akankah saya terjebak dalam paradigma orang tua yang selalu ketakutan terhadap sesuatu hal hanya karna pengalaman hidup yang telah begitu banyak. akankah saya menjadi keji hanya karna saya melihat begitu banyak kejahatan di hidup saya selama 24 tahun ini, yang belum sempat dilihat oleh anak saya yang masih berumur 3,5 tahun. akankah pengalaman saya berpuluh tahun sebelum ini tidak membekas dalam hidup saya sehingga saya tidak mampu lagi menilai mana yang tulus dan yang tidak. saya sudah terbawa oleh sifat hedonisme yang menyesatkan, atau parentalisme yang memabukkan. tidak selamanya orang tua selalu benar, dan tidak selamanya anak selalu salah. yang ada adalah proses dan saling mendewaskan. pengertian tidak datang selalu dari yang telah berumur ratusan tahun, dan kebenaran tidak mutlak ada ditangan orang tua. pengertian ini yang saya coba jaga, saya tidak mau anak saya akhirnya sempat menyalahkan saya karna tidak pernah mengenal semua kalangan masyarakat. saya tidak mau anak saya terbuai dalam hidup yang serba baik karna sikap posesif saya padanya hingga akhirnya dia nyaris tak pernah merasakan sakitnya terlukai. saya tidak mau anak saya tidak mengenal para preman sehingga nantinya bisa pingsan dijalan ketika harus berhadapan dengan preman-preman suatu hari ketika saya sudah tiada. saya mau anak saya mengenal seluruh dunia, seluruh hutan, seluruh lautan dan seluruh awan-awan. saya memag akan menjaganya, tapi saya juga akan menjaga diri saya sendiri dari pemikiran selaku orang tua yang terkadang lupa daratan untuk kehidupan anak sendiri. tidak !!! sekali lagi saya hanya ingin anak saya mendapatkan kehidupan yang lebih baik, tentu saja dengan pemikirannya yang telah berproses banyak. mengenal banyak orang, mengenal banyak peristiwa, merasakan banyak tragedi. saya tidak mau anak saya dewasa dalam usia, namun saya ingin anak saya dewasa dalam kehidupannya. dewasa karna sempat berproses, sempat terjatuh untuk kemudian bangun lagi. dan kelak saya pun menginginkan anak saya untuk tetap menjaga pemikiran nya, agar senantiasa bersih dari perasaan khawatir yang berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar