Selasa, 02 Agustus 2011

si kecil yang selalu menangis

saya adalah anak perempuan satu-satunya dari 3 bersaudara. dua saudara kandung saya laki-laki. lalu kenapa? ada apa dengan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga? silahkan disaksikan

suatu sore saya melihat anak perempuan kecil menangis di bawah jembatan dekat SMU tempat saya bersekolah dulu. anak perempuan kecil itu cantik, sangat cantik malah. saya yakin dia memiliki potensi menjadi primadona dimasa remajanya nanti. tangisannya pelan, jauh tak terdengar terkalahkan oleh debur suara arus air sungai. saat itu sudah nyaris maghrib, dan bawah jembatan tepi sungai bukan tempat yang gaul buat menunggu maghrib, sandekala ( waktu menuju petang ala orang jawa ) adalah waktu dimana setan-setan mulai bergentayangan ( percaya atau tidak terserah, kalau saya mengakuinya, walau kurang percaya ). ketika saya mencoba mendekati perempuan kecil itu saya merasa berkaca, dulu saya sepertinya begitu. meringkuk menangis sendiri, walau tidak dipinggir sungai, tapi saya merasa isakan tanpa suara gadis kecil itu meyakinkan saya satu hal, bahwa kami sama meski dalam ruang dan waktu yang berbeda. saya bermimpi ? Tidak !! tapi saya mencoba memparafrasekan sesuatu yang sebenarnya mudah untuk dipahami, tapi terlampau sulit untuk dilakukan. yaitu meletakkan posisi perempuan pada tempat yang selayaknya. tenang mas-mas dan bapak-bapak, tulisan ini bukan mengandung unsur emansipasi. bukan. saya tau perempuan dan lelaki tidak akan pernah sejajar. jelas tidak lah, wong perempuan itu derajatnya dimuliakan oleh Tuhan kok. coba sebutkan siapa orang yang paling kamu hormati , dan Rasululloh SAW menjawab  IBU....IBU...IBU...baru yang keempat adalah Ayah. dan setau saya ibu adalah sebutan untuk seorang dengan gender PEREMPUAN. bukan begitu ?

oke, begini. saya ingin sekali mandiri. siapa sih yang tidak ingin mandiri? saya yakin 80 % dari total penduduk dunia menginginkan kehidupannya berjalan diatas kemampuannya sendiri. saya pun begitu. ketika saya kecil, saya sudah tergila-gila pada sastra. di ruang tamu rumah saya sudah menumpuk berbagai piala dari kejuaraan puisi. salah, bukan menumpuk tapi berjajar. LOL. hehehehe. tapi saya juga tau, kehidupan adalah suatu sekat antara impian dan kenyataan. ketika pilihan saya untuk masuk sastra Indonesia dibangku kuliah merupakan hal yang tidak dimengerti orang tua saya, maka bagaimanapun saya harus menurut. lha, saya ini kan dibiayain oleh mereka juga. akhirnya dengan segenap kekuatan saya mencoba masuk fakultas pertanian. malang tak dapat ditolak, saya memang buta dan tidak mampu berada disitu. saya tidak tau apa itu geologi, saya kurang faham bagaimana itu tanah, saya tidak mengerti rumus fisika. akhirnya wassalam lah sudah, sudah IP saya beneran angka paling kecil, hati saya gak enjoy, sosialita saya juga parah. saya yang biasanya doyan gabung di berbagai organisasi, mendadak mandeg dan males berbuat apa-apa. saya merasa gak mampu mengenal diri saya sendiri. saya merasa berada bukan dilingkungan yang semestinya. segalanya mendadak mentah dihidup saya. bahkan saya kehilangan kecintaan saya pada sastra. saya seperti kehilangan tenaga. robot.

dulu, pernah ada yang menasehati saya bahwa, suatu pendidikan atau sekolah adalah arena bermain kita. minimal harus ada cinta didalamnya. di telusuri, sekolah itu harus memiliki satu cinta kita, jika bukan pelajarannya, mungkin guru/ dosennya, jika bukan mungkin perjalanannya kearah tempat itu yang kita cintai, yang penting harus ada yang menjadikan alasan kita satu saja untuk mencintai hal tersebut. jika tidak ada sama sekali, maka bergegaslah menjauh. itu bukan takdir kita. saya coba telusuri, di pertanian itu tidak ada satupun mata kuliah yang menjadi minat saya, dosennya tak ada pula yang saya sukai, kawan mahasiswa/wi nya pun tidak satu pun yang nyantol dihati saya, perjalanan kesana tidak menimbulkan sensasi papun. saya tau, bukan pertanian takdir saya.

ketika masih di SD, SLTP dan SMU, nilai bahasa indonesia saya selalu yang paling bagus. paling tinggi diantara teman-teman yang lain. pelajaran bahasa indonesia bukan perkara gampang, dibutuhkan banyak imajinasi dan kosakata yang menarik untuk menyelesaikan pelajaran tersebut dengan nilai yang memuaskan. memang pelajaran eksakta saya bernilai pas-pasan. tidak pernah lebih dari delapan.  yang saya heran, sudah tau nilai saya jelek, saya justru di upayakan untuk les ini-itu guna mendongkrak nilai saya. kenapa? kenapa selalu melihat kekurangan? kenapa tidak mengoptimalkan kelebihan. bahasa indonesia saya yang sudah bagus tidak dimanfaatkan, tetapi justru eksakta saya yang buruk jadi perhatian. semua guru ingin nilai saya sempurna. orang tua saya makmum dibelakangnya. pendidikan indonesia senantiasa mencari kelemahan siswa, tanpa melihan kelebihannya. lalu bagaimana siswa akan berkembang jika selalu dicari dan dikorek-korek kekurangannya? lalu apa lagi?

sekarang, saya belajar untuk menghargai anak saya. menghargai apa yang dia inginkan, karna saya tau bahwa pasiion seorang anak harus selalu didukung. bukan dihambat dengan kekhawatiran kita tentang hidup yang berlebihan. tugas orang tua hanyalah mendukung anak, bukan mengikatnya. Anak punya Tuhan. bukan punya kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar