Rabu, 08 Februari 2012

KINASIH dan BEGRAS part. 7

Begras tertawa hingga gulingnya jadi sasaran pukulan. mukanya memerah sambil tak lepas geleng-geleng kepala. diseberang, Kinasih sibuk bersenam lidah, menyuruh Begras diam. selalu seperti itu, salah satu dari mereka akan membuat yang lain tertawa. selalu saja ada bahan yang bisa dijadikan lelucon. tiba-tiba Kinasih mendengar suara perempuan memanggil Begras. Bukan suara ibunya, bukan pula adik perempuannya. Kinasih hafal semua suara penghuni rumah Begras tanpa harus pernah kesana. " ada siapa Be ? " Begras bangun dari tempat tidur. tetap menempelkan Hp nya di telinga kiri. melongok keluar kamar, menjawab sapaan itu " yo Wi. bentar. 10 menit lagi Gue keluar " Begras kembali fokus pada Kinasih. " sepupu dari Bandung dateng, eh terus gimana tadi ? " Kinasih kembali melanjutkan ceritanya. selang beberapa menit tawa Begras kembali muntah. bahkan kini hingga terbatuk-batuk. Sepupu dari Bandung itu penasaran mendengan suara tawa Begras. masuk tanpa permisi, mengagetkan Begras. " Buset, elu Wi masuk gak ketuk-ketuk " sepupu itu nyengir. Kinasih jengah. " mau aku tutup dulu telponnya? " Begras merasa itu kebijaksanaan yang tepat. sedetik sebelum sambungan ditutup Kinasih bertanya " boleh nebak nama saudara kamu? Pratiwi ?" lagi-lagi Begras terbahak " dasar dukun " .

setelah telephone ditutup Kinasih membanting tubuhnya ke kursi malas dibalkon kamarnya. menatap lurus kearah pohon rambutan yang tumbuh lebat di rumah tetangga depan. aku bukan dukun Be, tapi aku tau dari rasa yang merambatiku. aku benci nama Pratiwi. sebenci aku dengan paprika.Kinasih beringsut melorot dari duduknya. setengah badannya sudah dilahap oleh sofa. perlahan Kinasih memeluk lutut, menggigil di tengah merahnya langit petang itu.

" kenapa sih mbak, kamu selalu berusaha menyalahkan orang tua atas apa yang kamu alami sekarang? " Pratiwi menatap Kin sayu. Kin makin benci. dia, Pratiwi, tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dirasakannya " untuk anak perempuan seperti kamu, yang hidupnya bergelimang perhatian dari orang tua. tidak akan pernah bisa membuat aku menjawab pertanyaan kamu. kita berada di voltase yang berbeda " Pratiwi masih tak mau kalah " mbak, mencobalah untuk dekat dengan orang tua. bersikap baiklah terhadap mereka. bicaralah dengan lemah lembut " Kin makin muak. dengan bergegas di tinggalkan perempuan muda itu sendiri dikamarnya. Kin mengumpat. membanting pintu kamarnya dengan gemas.

Be, aku tak pernah bisa melupakan siang itu. entah apa namanya, tapi radar penolakan selalu berbunyi jika aku berdekatan dengan setiap orang yang bernama Pratiwi. Kinasih makin menelungkup seperti udang. langit makin merah, dan hatinya pun marah.

Kin berteriak histeris ketika satu lagi piala kebanggaannya jatuh dan terbelah jadi tiga. hatinya ikut terbelah. dilantai itu sudah ada lebih dari sepuluh piala yang hancur. rumah Kin tak ada gempa.juga tak ada angin ribut. piala itu hancur bukan tanpa alasan. ada dewa shiwa mengunjungi kamarnya, menghancurkan isi lemari kesayangan Kin. nyaris lebih dari 100 piala kejuaraan melukis Kin ada didalamnya. Dan shiwa itu merasuk dalam tubuh ayahnya. Kin merosot dilanai, meraupi satu demi satu kepingan piala yang telah hancur. Kin serasa memunguti hatinya sendiri. menatap perjuangan keras yang dengan sekali hentak hancur oleh tangan baja ayahnya. tidak, sakitnya tidak lagi ada di relung hati tapi sudah mulai merasuk kedalam darah. mengalir deras membanjiri tubuhnya. Ibunya ikut menangis menyaksikan Kin masih berusaha menyelamatkan piala yang tengah hancur. lagi ayahnya kembali kekamar itu. kali ini membawa linggis. Kin gemetar menyadari tujuan perusakan selanjutnya. lemari sudut yang lain. Tidak, nyawaku disana. Lukisanku. Kin sontak berdiri. ayahnya siap menghentakkan linggis itu ke pintu lemari. Kin jauh lebih cepat, menerjang menghalangi pembobolan. terlambat ! linggis sudah terdorong tenaga super sonic ayahnya. Kin membiarkan Linggis itu mengenai paha kirinya, memuncratkan darah. warna merah paling sempurna.

Kinasih masih menggigil mengenang itu semua. tubuhnya berkeringat. dirabanya jahitan panjang di paha kiri kakinya. rasa sakit muncul di organ dalam. hati yang tersayat-sayat.

" Kin janji akan jadi juara kelas lagi Yah. Kin janji " Kin memegangi paha kiri yang banjir darah. ibunya sudah datang dengan membawa banyak kain. tetesan darah sudah sampai di kaki ayahnya. Linggis sudah tergeletak jatuh. Kin masih merapal kalimat " jangan di hancurkan lagi yah. Kin janji " segalanya berakhir sudah sejak saat itu. hatinya sebeku linggis itu. Kin belajar seperti robot. tak ada ruang untuk dibiarkan imajinasi mengganggu waktunya.nilai-nilai memuaskan selalu Kin dapatkan. Beasiswa kuliah di perancis dan All England menari di meja makannya. prestasinya gemilang, namun sayang hidupnya tak lagi sama. tak ada keluarga lagi dalam diri Kin. seluruh keluarga mencoba membujuknya, menyadarkannya untuk kembali menjadi anak manis. termasuk Pratiwi. bukan hanya membuang waktu, tapi segala jenis usaha itu justru mubazir. sepercuma menabur garam dilaut. sebodoh memberi gula pada teh hijau. dan semustahil gantung diri di pohon salak.

Kin memutuskan pergi dari rumah dengan cara yang baik. Beasiswa Perancisnya. dia membawa seluruh nyawa dan hidupnya dalam lemari itu.diperlukan jasa cargo dengan biaya yang relatif bikin ibu nya pingsan. Tidak ada lagi alasan dia harus tinggal. kepergiannya, justru kepulangan yang sesungguhnya. kepulangan pada dirinya sendiri. sejak saat itu, kedua orang tua dan seluruh keluarganya ( termasuk si Pratiwi )  tak ada yang bisa menyentuh Kin. tidak melalui manapun. dan sudah dua tahun belakangan ini, Kin bahkan benar-benar menghilangkan jejak. dan jadilah dia disini. menggigil mengingat nama itu. nama yang paling malas dia sebutkan. Pratiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar